Terlepas dari ketiadaan perangkat untuk memprediksi gempa, BMKG kini tengah menguji alat deteksi dini gempa di 250 titik hasil kerja sama dengan Institute of Care Life of China sejak 2019. Sistemnya memanfaatkan gelombang S dan P dari sumber gempa.
"Kami fase eksperimen dengan China. Kami pasang alat di 250 titik dan sedang kami uji coba. Karena ada beberapa alat yang harus terus diujicobakan," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam acara diskusi 'Mitigasi Bahaya Secara Cepat Sebagai Upaya Antisipasi Dini Untuk Memahami Potensi Bahaya Gempa Bumi dan Risikonya', di Sekolah Partai PDIP, Jakarta, Kamis (2/3).
Koordinator Earthquake Early Warning System (EEWS) BMKG Sigit Pramono menjelaskan deteksi dini gempa bukan prediksi gempa. Deteksi atau peringatan dini gempa sendiri dikeluarkan setelah gempa terjadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Istilah peringatan dini itu perlu diluruskan dulu. Jadi peringatan dini gempa bumi bukan prediksi dan gempanya sendiri sudah terjadi. Jadi rilis energi di pusat gempanya sudah terjadi," katanya kepada CNNIndonesia.com di kantor BMKG, Selasa (7/3).
Teknologi EEWS ini mengacu kepada sistem EEWS di China. Informasi yang diberikan oleh sistem peringatan dini gempa ini mencakup: (1) estimasi intensitas gempa, (2) waktu tiba gelombang S, (3) estimasi magnitudo gempa, dan (4) lokasi episenter gempa," ujar Sadly, seperti dikutip dari situs BMKG.
Menurut Chinese Northwest Seismology (2002) Volume 22, ada korelasi antara waktu peringatan dini gempa EEWS dan rasio berkurangnya korban jiwa. Jika tersedia waktu emas selama 3 detik maka rasio berkurangnya korban mencapai 14 persen.
"Sedangkan jika tersedia waktu emas selama 10 detik maka rasio berkurangnya korban mencapai 39 persen, dan jika tersedia waktu emas selama 20 detik maka rasio berkurangnya korban mencapai 63 persen," tutur Sadly.
Sigit menjelaskan golden time dari alat EEWS yang sudah dipasang saat ini berkisar dari 10 hingga 30 detik.
"Golden timenya cukup singkat, hanya 30 detik kalau dari selatan Jawa. Kalau dari Cimandiri atau Lembang mungkin lebih pendek, 12 sampai 15 detik, atau bahkan 10 detik," paparnya.
Meski waktunya cukup singkat, tetapi informasi ini dapat digunakan untuk melakukan tindakan mitigasi yang lebih dini untuk dikaitkan dengan sistem operasional.
"Misalnya, kereta cepat yang katanya akan membangun sistem EEWS, sistem ini akan dimanfaatkan. Jadi ketika kereta sedang jalan, ada gempa di selatan Jawa tapi gelombang S belum sampai ke relnya, sistem yang ada di BMKG memberikan informasi ke receiver-receiver yang ada di lintasan. Ini salah satu implementasinya," terang Sigit.
(arh/arh)