KRISIS IKLIM

Cuap-cuap Manis saat Krisis Iklim Makin Menggila

CNN Indonesia
Jumat, 20 Okt 2023 18:25 WIB
Sudah sembilan tahun menjabat sebagai presiden, apa saja langkah Joko Widodo dalam menangani krisis iklim di Indonesia?
Ilustrasi. Peluncuran bursa karbon yang dilakukan Jokowi dianggap bukan solusi atas krisis iklim. (Foto: ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY)

Pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu menilai PLTU batu bara tak sejalan dengan pengembangan EV.

Menurutnya, pemanfaatan energi terbarukan, seperti air, surya, dalam proses produksi listrik dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemanfaatan energi terbarukan sebagai penghasil listrik juga dapat mengurangi secara perlahan 61 persen sumber listrik dari pembangkit listrik tenaga uap batu bara yang bersifat polutif.

"(Pemanfaatan energi terbarukan) mengurangi secara perlahan 61 persen sumber listrik Indonesia dari PLTU batu bara yang walaupun murah, tetapi, sangat polutif, yang tampaknya tidak sejalan dengan logika tujuan pengembangan EV (kendaraan listrik) jika ditujukan sebagai kendaraan bersih polusi tersebut," kata dia.

Merujuk catatan Greenpeace, saat ini pembangkit listrik masih didominasi tenaga batu bara. Menurut The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), pada 2030, penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik harus turun sebanyak 80 persen dari posisi 2010.

Sementara, Indonesia berencana menambah kapasitas PLTU batu bara baru sebanyak hampir dua kali lipat dari kapasitas beroperasi saat ini, di mana semua PLTU baru tersebut akan dibangun dalam satu dekade (2019-2028).

Menurut Greenpeace penambahan PLTU batu bara ini sama saja dengan mengunci emisi gas rumah kaca Indonesia hingga 40 tahun ke depan.

"Dengan demikian, total kapasitas PLTU pada 2028 sebesar 55 gigawatt dengan taksiran emisi sekitar 330 juta ton per tahun, bila semua beroperasi. Energi terbarukan hanya sekitar 14,69 persen dari bauran energi saat ini. Padahal target 2025, porsinya harus mencapai 23 persen dan untuk mencapainya perlu tambahan pembangkit dari energi terbarukan sebesar 10.000 MW," tulis Greenpeace dalam laman resminya.

Bursa karbon, jalan sesat atasi krisis iklim

Baru-baru ini Jokowi meluncurkan bursa karbon. Ia berharap kehadiran bursa karbon dapat berkontribusi untuk melawan krisis iklim.

"Hasil dari perdagangan ini akan diinvestasikan kembali pada upaya menjaga lingkungan khususnya melalui pengurangan emisi karbon," kata Jokowi saat meresmikan peluncuran bursa karbon di Gedung Bursa Efek Indonesia akhir September lalu.

Berdasarkan catatannya, Jokowi menyebut Indonesia memiliki potensi kredit karbon sebanyak 1 gigaton karbon dioksida yang bisa ditangkap. Jika dikalkulasi, potensi Bursa Karbon Indonesia diperkirakan melampaui Rp3.000 triliun.

Merujuk Peraturan OJK Nomor 14 Tahun 2023, bursa karbon adalah sistem yang mengatur perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon.

Sementara, perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar yang ditujukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon.

Yang dijual di bursa karbon adalah kredit atas pengeluaran karbondioksida atau gas rumah kaca.

Mengutip Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional, perdagangan karbon juga ditujukan untuk mengendalikan perubahan iklim.

Selain itu, kehadiran bursa karbon juga sebagai cara Indonesia berkontribusi dalam membatasi kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius hingga 1,5 derajat celcius.

Namun demikian, langkah ini juga dikecam Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang menyebut bahwa perdagangan karbon adalah "jalan sesat untuk mengatasi perubahan iklim".

Menurut Walhi perdagangan karbon hanya sebuah modus untuk mempertahankan ekstraktivisme, finansialisasi alam, sembari melakukan praktik greenwashing.

"Walhi sejak dulu tentunya menolak ekstraktivisme yang telah menyebabkan krisis iklim dan krisis multidimensi di Indonesia. Banyak masyarakat yang harus mengalami penggusuran dan hidup dalam keterancaman yang disebabkan konflik agraria. Finansialisasi alam dan greenwashing hanya akan memperburuk situasi," kata Walhi dalam keterangan di laman resminya.



(tim/dmi)

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER