Jokowi mengungkapkan salah satu yang dilakukan Indonesia dalam mengatasi krisis iklim adalah dengan menurunkan angka deforestasi, atau peristiwa hulangnya tutupan hutan yang berubah menjadi tutupan lain.
"Dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Ia menyebut laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir," kata Jokowi dalam pidatonya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Jokowi mengklaim Indonesia telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare sampai di tahun 2024, dan menjadikannya terluas di dunia. Jokowi juga menyebut Indonesia telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara tahun 2010 sampai 2019.
Merujuk laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia 2022 yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), angka deforestasi Indonesia memang berubah secara fluktuatif.
Laporan tersebut mencatat deforestasi Indonesia pada periode 2019-2020 mengalami penurunan sampai 75 persen, atau sebesar 115,5 ribu hektar, dibandingkan periode 2018-2019 yang mencapai 462,5 ribu hektar. Angka ini meningkat jika dibandingkan periode 2017- 2018 yang sebesar 439,4 ribu hektar. Sedangkan pada tahun 2016-2017 angkanya mencapai 480 ribu hektare.
Namun begitu, pidato Jokowi di COP 26 mendapat sindiran dari berbagai pihak, termasuk Greenpeace Indonesia. Menurut Greenpeace, pidato Jokowi di KTT COP 26 itu omong kosong.
"Boleh dikatakan bahwa klaim-klaim Jokowi seluruhnya adalah omong kosong," kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia M Iqbal Damanik.
Seain itu, angka penurunan Karhutla sampai 82 persen di tahun 2020-2021 yang disampaikan di KTT COP 26 itu tak bisa dianggap sebagai keberhasilan Jokowi. Sebab, penurunan angka karhutla itu lebih banyak dipengaruhi faktor alam.
Dalam pidatonya di COP 26, Jokowi juga menyinggung penggunaan kendaraan listrik, bio-fuel, dan pengembangan industri berbasis clean energy sebagai upaya untuk menekan emisi.
Atas dasar itu, pemerintah kemudian mendorong percepatan peralihan dari kendaraan konvensional yang menggunakan bahan bakar fosil ke kendaraan listrik.
Pemerintah juga memasukkan penggunaan kendaraan listrik sebagai salah satu rencana aksi mitigasi yang termuat dalam NDC.
Salah satu upaya tersebut adalah dengan memberikan subsidi untuk setiap pembelian kendaraan listrik.
Per April kemarin, pemerintah menerapkan insentif berupa potongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari sebelumnya 11 persen menjadi 1 persen untuk setiap pembelian mobil listrik. Sementara, untuk motor listrik, pemerintah memberikan bantuan subsidi sebesar Rp7 juta untuk setiap pembelian motor listrik.
Namun begitu, pemberian subsidi dan insentif ini mendapat respons negatif dari berbagai kalangan.
Bakal calon presiden Anies Baswedan sempat mengkritik kebijakan ini sebagai langkah yang tidak tepat apabila ingin mengatasi masalah polusi udara.
"Solusi menghadapi masalah lingkungan hidup apalagi soal polusi udara bukanlah terletak di dalam subsidi untuk mobil listrik yang pemilik-pemilik mobil listriknya adalah mereka-mereka yang tidak membutuhkan subsidi," kata Anies saat itu.
Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) juga menyatakan mesti ada 110 juta kendaraan pada 2030 agar Indonesia mencapai target bebas emisi di 2050.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menilai target yang ditetapkan masih belum sejalan dengan Persetujuan Paris untuk membatasi kenaikan temperatur bumi 1,5 derajat Celcius pada 2050.
"Menurut studi IESR untuk mencapai bebas emisi pada 2050, jumlah kendaraan roda dua dan roda empat listrik harus mencapai 110 juta unit di 2030," kata Fabby.
Di sisi lain, mendorong kendaraan listrik untuk mengurangi emisi terkesan sia-sia jika sumber listriknya masih dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara.
Siasat bursa karbon di halaman selanjutnya...