Para arkeolog sering kali menemukan perkakas tulang dan artefak lain dari situs kuno, namun sulit mengetahui secara pasti siapa yang pernah menggunakan atau memakainya.
Awal tahun ini, para ilmuwan menemukan DNA manusia purba dari liontin yang terbuat dari tulang rusa yang ditemukan di Gua Denisova di Siberia. Dengan petunjuk tersebut, mereka dapat mengungkap pemakainya adalah seorang wanita yang hidup antara 19.000 dan 25.000 tahun yang lalu.
Dia termasuk dalam kelompok yang dikenal sebagai Eurasia Utara Kuno, yang memiliki hubungan genetik dengan orang Amerika pertama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
DNA manusia kemungkinan besar terawetkan dalam liontin tulang rusa karena berpori sehingga lebih mungkin menyimpan materi genetik yang ada dalam sel kulit, keringat, dan cairan tubuh lainnya.
Tidak diketahui mengapa liontin gigi rusa itu mengandung DNA wanita purba dalam jumlah begitu besar (kira-kira sama jumlahnya dengan gigi manusia).
Kemungkinan DNA tersebut sangat disukai dan dikenakan di dekat kulit dalam jangka waktu yang sangat lama, kata Elena Essel, ahli biologi molekuler di Institut Max Planck untuk Antropologi Evolusioner di Leipzig, Jerman, yang mengembangkan teknik baru untuk mengekstraksi DNA.
Sekitar 1.100 gulungan terbakar hingga hangus selama letusan Gunung Vesuvius hampir 2.000 tahun lalu. Pada tahun 1700-an, beberapa penggali yang giat menemukan timbunan besar lumpur vulkanik.
Koleksinya, yang dikenal sebagai gulungan Herculaneum, mungkin merupakan perpustakaan terbesar yang diketahui dari zaman klasik.
Namun, isi dokumen rapuh tersebut tetap menjadi misteri sampai seorang mahasiswa ilmu komputer Universitas Nebraska memenangkan kontes ilmiah pada awal tahun ini.
Dengan bantuan kecerdasan buatan dan pencitraan dengan tomografi terkomputerisasi, Luke Farritor adalah orang pertama yang memecahkan kode kata yang ditulis dalam bahasa Yunani kuno pada salah satu gulungan yang gosong itu.
Farritor dianugerahi $40.000 (Rp616 juta) karena berhasil mengartikan kata "πορφυρας" atau "porphyras," yang merupakan kata Yunani untuk ungu. Para peneliti berharap tidak akan lama lagi seluruh gulungan dapat diuraikan menggunakan teknik ini.
Dari pecahan pot yang dibuang di bengkel pembalseman, para ilmuwan menemukan beberapa bahan dan ramuan yang digunakan orang Mesir kuno untuk membuat mumi.
Dengan menganalisis secara kimiawi residu organik yang tertinggal di dalam bejana, para peneliti menentukan bahwa orang Mesir kuno menggunakan berbagai macam zat untuk mengurapi tubuh setelah kematian, untuk mengurangi bau tidak sedap dan untuk melindunginya dari jamur, bakteri, dan pembusukan.
Bahan yang diidentifikasi termasuk minyak nabati seperti juniper, cemara dan cedar, serta resin dari pohon pistachio, lemak hewani, dan lilin lebah.
Meskipun para ilmuwan sebelumnya telah mempelajari nama-nama zat yang digunakan untuk melapisi orang mati dari teks-teks Mesir, mereka - sampai saat ini - hanya mampu menebak dengan tepat senyawa dan bahan apa yang mereka maksud.
Bahan-bahan yang digunakan dalam bengkel tersebut bervariasi dan bersumber tidak hanya dari Mesir tetapi juga dari tempat yang lebih jauh, sehingga menunjukkan adanya pertukaran barang jarak jauh.
Komposer Ludwig van Beethoven meninggal pada usia 56 tahun pada tahun 1827 karena masalah kesehatan kronis, termasuk gangguan pendengaran, masalah pencernaan, dan penyakit hati.
Beethoven menulis surat kepada saudara-saudaranya pada tahun 1802 meminta dokternya, Johann Adam Schmidt, menyelidiki sifat penyakit komposer tersebut setelah dia meninggal. Surat tersebut dikenal dengan nama Perjanjian Heiligenstadt.
Hampir 200 tahun setelah kematiannya, para ilmuwan mengekstraksi DNA dari rambut yang diawetkan dalam upaya memenuhi permintaan ini.
Tim tidak dapat memberikan diagnosis pasti. Namun, data genetik Beethoven membantu para peneliti menyingkirkan kemungkinan penyebab penyakitnya seperti penyakit celiac kondisi autoimun, intoleransi laktosa, atau sindrom iritasi usus besar.
Informasi genetik juga menunjukkan bahwa telah terjadi perselingkuhan di keluarganya.