Masih Ada Saja Ahli yang Sangkal Krisis Iklim di Balik Rekor Panas

CNN Indonesia
Senin, 18 Mar 2024 16:24 WIB
Para ahli masih beda pandangan soal rekor-rekor panas apakah imbas percepatan laju krisis iklim atau bukan. Simak penjelasannya berikut.
Gletser Rhone dekat Goms, Swiss, yang makin menipis, Juni 2023. Para ahli masih beda pandangan soal kecepatan krisis iklim. (AP/Matthias Schrader)
Jakarta, CNN Indonesia --

Rekor-rekor suhu pada 2024 di darat dan laut dinilai krisis iklim yang makin mengkhawatirkan. Meski demikian, tak semuanya sepakat

El Nino, salah satu penyebab utama rekor suhu global, tercatat selama setahun terakhir mengalami pelemahan. Namun, suhu lautan masih tetap tinggi.

Hal ini pun mendorong beda pendapat antara para ilmuwan dalam mempertanyakan masalah ini dengan prediksi pola pemanasan global.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa ilmuwan menekankan pemanasan global merupakan dampak dari pembakaran bahan bakar fosil, termasuk BBM, dan hutan oleh manusia.

Sementara, beberapa ilmuwan lain masih merasa bingung dan khawatir dengan cepatnya perubahan suhu yang terjadi. Mengingat, laut yang merupakan mediator panas terbesar di bumi dapat menyerap lebih dari 90 persen pemanasan antropogenik (buatan manusia).

World Meteorological Organization (WMO) pada awal Maret mengumumkan El Nino atau anomali suhu di Samudera Pasifik saat ini telah melewati puncaknya.

Sekretaris Jenderal WMO, Celeste Saulo, memaparkan El Nino berkontribusi menjadikan 2023 sebagai tahun terpanas yang pernah tercatat. Meskipun, pelaku utamanya tetap pemanasan global.

"Suhu permukaan laut pada bulan Januari 2024 adalah yang tertinggi yang pernah tercatat pada bulan Januari. Hal ini mengkhawatirkan dan tidak dapat dijelaskan hanya oleh El Nino," ujar Celeste Saulo dikutip dari The Guardian, Sabtu (16/3).

Menurut program pemantauan satelit Uni Eropa, Copernicus, suhu permukaan laut pada Februari juga lebih panas dibandingkan bulan mana pun sepanjang sejarah.

Pada periode 8 hingga 11 Februari, suhu global mencapai 2 derajat Celsius, lebih tinggi dari suhu rata-rata pada periode 1850-1900. Selama sebulan, Eropa mengalami suhu panas 3,3 derajat Celcius di atas standar tersebut.

Direktur Layanan Perubahan Iklim Copernicus, Carlo Buontempo, mengatakan hal tersebut merupakan gambaran dari adanya peningkatan gas rumah kaca di atmosfer.

"Jika kita tidak berhasil menstabilkannya, kita pasti akan menghadapi rekor suhu global baru dan konsekuensinya," ujar dia.

Terpisah, Ahli Iklim dari Brazil, Carlos Nobre, menjelaskan selama ini tidak ada model iklim yang secara akurat dapat memprediksi seberapa tinggi suhu permukaan laut selama 12 bulan terakhir.

Namun, mengingat bagaimana panas terus berlanjut di lautan, Carlos memprediksi 2024 bakal menjadi tahun yang panas.

Ahli Iklim di University of Miami, Brian McNoldy, berhasil menghitung penyimpangan dari rata-rata statistik sebagai kejadian satu dalam 284.000 tahun.

"Suhu panas ini memecahkan rekor selama setahun penuh, seringkali dengan selisih yang tampaknya mustahil," kicaunya di akun X miliknya.

Dampaknya terhadap karang dan kehidupan laut lainnya tidak dapat diperkirakan. Great Barrier Reef, ekosistem karang terbesar, di Australia mengalami peristiwa pemutihan massal kelima dalam delapan tahun terakhir.

Ahli meteorologi memperingatkan suhu permukaan yang tinggi mungkin juga menandakan musim badai yang lebih lama dan aktif.

Klaim lain

Zeke Hausfather, ilmuwan di Berkeley Earth, AS, mengatakan suhu laut dan permukaan global "cukup tinggi." Namun, ia mengatakan suhu tersebut masih berada dalam proyeksi model iklim.

"Kami belum memiliki bukti kuat dari pengamatan bahwa menunjukkan bahwa dunia mengalami pemanasan lebih cepat dari perkiraan hasil emisi produksi manusia," dalihnya.

WMO mengungkap ada peluang 80 persen El Nino akan memudar sepenuhnya antara April dan Juni. Setelah itu, fenomena lawannya, La Nina, muncul. 

Profesor iklim di University of Groningen dan University of Santiago, Raúl Cordero, mengungkap peluang pendinginan imbas munculnya fenomena La Nina antara Juni dan Agustus.

Menurutnya, pendinginan imbas La Nina, yang kerap memicu curah hujan tinggi di Indonesia, ini diharapkan setidaknya dapat meredakan panas global meski sementara.

"Semua rekor suhu terkini kemungkinan besar akan terpecahkan dalam waktu dekat. Situasi ini akan terus memburuk sampai kita menghentikan pembakaran bahan bakar fosil," tandasnya.

[Gambas:Video CNN]

(rni/arh)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER