Pakar Respons Peluang Selat Muria Muncul Lagi Imbas Banjir
Banjir yang merendam beberapa kota pesisir di Jawa Tengah seperti Demak, Pati, dan Kudus mengungkit nama Selat Muria. Mungkinkah air laut kembali menggenangi daratan mantan selat tersebut?
Selat Muria merupakan lautan sempit yang telah lama hilang. Selat ini dulu memisahkan antara Pulau Jawa dan Gunung Muria. Ia menjadi daratan sekitar 300 tahun.
Pakar Geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas menyebut secara teori kemunculan kembali Selat Muria mungkin saja terjadi. Salah satu dalang dari hal ini adalah penurunan muka tanah.
"Secara teorinya bisa saja, karena proses pembentukan selat Muria itu akibat sedimentasi. Kalau sedimentasi kan tanahnya tambah tinggi, akhirnya selat Murianya hilang 300-an tahun yang lalu," ujar Heri kepada CNNIndonesia.com, Rabu (20/3).
"Kemudian, sekarang terjadi penurunan tanah. Artinya, yang tanahnya tadi tinggi akibat sedimentasi perlahan mulai lebih rendah. Kalau lebih rendah dari laut, teorinya, bisa jadi nanti tergenang lagi," tambahnya.
Meski demikian, menurutnya, hal tersebut tidak akan dibiarkan terjadi mengingat wilayah yang dahulu selat kini telah menjadi pemukiman dan wilayah perkotaan, sehingga otoritas terkait tentu akan melakukan mitigasi struktural.
Senada, Pakar Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eko Soebowo menyebut penurunan tanah di wilayah tersebut mudah terjadi karena daratannya belum mengalami pemadatan atau kompaksi sempurna.
"Materialnya itu kalau ada beban akan mudah mengalami penurunan. Masih rentan. Kota-kota seperti Semarang dan wilayah pantura itu mengalami subsidence karena material bawah tanahnya belum mengalami kompaksi sempurna," katanya.
Eko menjelaskan penurunan muka tanah di wilayah Semarang, Demak, dan sekitarnya bervariasi dengan intensitas tertinggi mencapai 10 sentimeter per tahun, seperti yang terjadi di wilayah Semarang timur.
Perbedaan ini tergantung dengan tipikal tanah di daerah masing-masing dan faktor pendukung penurunan tanah yang ada di wilayah tersebut.
Faktor penurunan muka tanah terbagi menjadi dua, yakni faktor alami dan faktor antropogenik atau dampak aktivitas manusia.
Faktor alami mencakup karakteristik tanah sedimen muda yang membuatnya pasti mengalami penurunan muka tanah. Heri menyebut faktor ini biasanya membuat penurunan sekitar 1 sentimeter per tahun.
Lihat Juga : |
Selain itu, faktor alamiah kedua adalah aktivitas tektonik. Faktor ini tidak memiliki dampak yang terlalu besar, karena hanya menyebabkan penurunan sekitar beberapa milimeter.
Sementara itu, faktor antropogenik atau ulah manusia menjadi kontributor terbesar dalam penurunan muka tanah.
Heri melanjutkan beban infrastruktur tanah lunak yang menyebabkan penurunan 1 cm per tahun serta eksploitasi air tanah yang bisa menyebabkan penurunan hingga 7-8 sentimeter per tahun.
"Faktor yang dominannya yang eksploitasi air tanah," terang dia.
"Di situ ada pemukiman, ada industri, ada pertanian dan tambak juga yang memanfaatkan air tanah. Banyak jadinya unsur yang mengambil air tanah," imbuh Heri.
Selain penurunan muka tanah, Eko menyebut kenaikan muka laut akibat perubahan iklim juga bisa menyebabkan selat Muria kembali muncul.
Bukan karena banjir
Kedua pakar geologi ini sepakat mengeluarkan banjir dari faktor penyebab kembalinya selat Muria di antara Jawa dan Gunung Muria.
Alih-alih membuat daratan kembali menjadi selat, mereka menyebut banjir malah akan membuat daratan menjadi lebih tinggi.
"Kalau soal banjir, justru malah banjir itu mengisi sedimentasi di daerah selat tersebut. Dari Muria, dari selatan Demak, selatan Semarang, semua sungai-sungainya kan bermuara di daerah pantura," ujar Eko.
"Itu kan membawa material, membuat pendangkalan. Tetapi banjir bukan menyebabkan terjadi selat lagi," lanjutnya.
Selain itu, banjir akan membawa sedimen ke wilayah terdampak dan hasilnya meningkatkan ketinggian daratan tersebut.
Meski demikian, kata Heri, sangat tidak benar untuk membiarkan banjir terjadi agar daratan menjadi tinggi.
"Sebenarnya kalau penurunan tanah itu tidak disebabkan banjir. Penurunan tanah itu dampaknya banjir. Bahkan kalau banjir itu membawa sedimen. Kalau membawa sedimen, tanahnya jadi banyak lagi," pungkas Heri.