60 Tahun Maju-Mundur dan Kembalinya Ambisi Nuklir RI

CNN Indonesia
Selasa, 28 Jan 2025 13:05 WIB
Rencana pengembangan nuklir sudah digagas sejak era Sukarno. Terus dibahas di presiden-presiden selanjutnya. Namun sampai sekarang PLTN tak kunjung berdiri.
Foto ilustrasi reaktor nuklri. iStockphoto/svedoliver

Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, isu nuklir kembali menggeliat. Sedikit orang yang memberi perhatian, UU Cipta Kerja (UU 11/2020) yang jadi landmark pemerintahan Jokowi juga mengatur soal PLTN. Dalam UU tersebut diatur beberapa aspek pemanfaatan tenaga nuklir dengan tujuan untuk mempermudah proses perizinan bagi pelaku usaha di sektor ini. Intinya untuk menyederhanakan regulasi dan mempercepat investasi di sektor ketenaganukliran, dengan mengubah UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran yang sebelumnya mengatur sangat ketat sektor ini.

Puncaknya, hanya selang sebulan setelah Jokowi lengser, pemerintah melalui Kementerian ESDM merilis Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Dokumen yang sudah lama ditunggu pelaku industri energi nasional dan internasional ini ditandangani Menteri Energi Sumber Daya Minieral (ESDM) Bahlil Lahadalia.

Dalam dokumen setebal lebih dari 250 halaman ini, pemerintah dengan jelas menyebut target operasi PLTN sebagai produsen listrik mulai 2032.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasar peta Gatrik 2024-2060, Pulau Bangka-Belitung akan menjadi lokasi pertama PLTN Indonesia.

Kapan PLTN dibangun?

Jawabannya tergantung pada siapa pertanyaan itu diajukan. Saat ditanya soal rencana PLTN pertama di Provinsi Babel sesuai dokumen RUKN yang ditandatanganinya dalam sebuah acara di Jakarta Selatan awal Desember lalu, Menteri Bahlil menjawab singkat: "Aku nggak tahu".

Sebaliknya untuk pengusaha dan peminat proyek PLTN, respon semacam itu tidak diartikan sebagai bantahan terhadap ambisi nuklir pemerintah.

Perusahaan yang berminat membangun pembangkit listrik tenaga thorium di Pulau Kelasa, Bangka Belitung adalah ThorCon Power Indonesia.

COO ThorCon Power Bob S Effendi mengatakan dalam RUKN sudah jelas disebut bahwa PLTN pertama akan beroperasi tahun 2032 di Babel.

"Itu saja kita pakai. Saya bisa pahami pejabat seperti menteri akan menghindari banyak perdebatan soal isu ini. Karena jelas memang dari dulu nuklir adalah isu sensitif dan sekarang adalah periode krusial untuk penyiapannya," kata Bob beberapa waktu lalu.

ThorCon menurut Bob sudah melakukan studi dalam 3-4 tahun terakhir. Ia juga mengaku siap dengan proposal resmi pendirian PLTN yang akan diajukan Februari tahun ini untuk mengejar target produksi perdana pada tahun 2032.

Direktur lembaga pemerhati kebijakan energi IESR Fabby Tumiwa menilai optimisme ThorCon ini perlu pembuktian lebih lanjut.

Di balik ramainya pernyataan soal ambisi pemerintah untuk membangun PLTN menurutnya masih dibutuhkan berbagai aturan resmi yang akan jadi payung hukum pemanfaatan nuklir sebagai energi.

"Betul ada pernyataan anggota Dewan Energi Nasional mendukung. Tapi Ketua DEN kan Presiden. Apa sudah ada pernyataan dan tindakan yang menyatakan pemerintah akan melakukan ABCD, mengeluarkan aturan pendukung, dan rincian soal financing untuk memuluskan proyek ini. Belum ada kan? Saya sih nggak terlalu yakin," kata Fabby lewat sambungan telepon.

Fabby menyarankan menunggu rilis dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang mestinya keluar setiap tahun menjelaskan sumber penyediaan listrik per periode 10 tahunan.

Jika PLTN benar menjadi bagian dari pemasok listrik, maka RUPTL pasti memuatnya. Ganjalan lain yang juga mendasar dalam realisasi PLTN adalah pasal-pasal UU Ketenaganukliran dan PP 79/2014 yang perlu diubah. Misalnya frasa tentang nuklir sebagai opsi terakhir dan aturan tentang teknologi yang bisa dipakai untuk mewujudkan PLTN di Indonesia.

Laporan seri Pembangkit Nuklir di Indonesia ditulis oleh Dewi Safitri dengan fellowship dari EJN dan Stanley Center for Peace and Security bagian dari liputan COP29 di Baku, Azerbaijan.

(dsf/sur)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER