WAWANCARA EKSKLUSIF

Penasihat Khusus Sekjen PBB Bicara soal Transisi Energi Indonesia

Yogi Tujuliarto | CNN Indonesia
Jumat, 01 Agu 2025 16:02 WIB
Simak wawancara eksklusif dengan penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Aksi Iklim dan Transisi Energi Berkeadilan.
Selwin Charles Hart, Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Aksi Iklim dan Transisi Energi Berkeadilan, dalam wawancara eksklusif bersama CNN Indonesia. (Dok. CNN Indonesia)
Jakarta, CNN Indonesia --

Dunia kini melangkah cepat menuju era energi bersih. Penurunan tajam biaya energi terbarukan, peningkatan investasi hijau, dan tekanan krisis iklim menjadi pendorong utama transisi energi global.

Namun, jalan menuju energi bersih tidak semulus yang diperkirakan, baik bagi Indonesia maupun dunia. Hal ini disampaikan oleh Selwin Charles Hart, Penasihat Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Aksi Iklim dan Transisi Energi Berkeadilan, dalam wawancara eksklusif bersama CNN Indonesia.

Hart mengatakan, berdasarkan laporan dari Badan Energi Terbarukan Internasional (IEA), saat ini energi terbarukan sudah mulai dilirik. Hal ini juga terlihat dari berbagai catatan dan rekor pemasangan, serta akselerasi penggunaan energi terbarukan di setiap sudut dunia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menekankan energi bersih punya peran yang penting soal keadilan. 

"Energi terbarukan menawarkan kita kesempatan yang tak boleh dilewatkan untuk memastikan 700 juta orang di dunia memiliki akses pada energi," kata Hart.

"Kita sudah menggunakan energi berbasis fosil selama dua abad terakhir, sejak pertama kalinya muncul Revolusi Industri. Dan selama 200 tahun era industri ini, kita belum bisa menciptakan akses universal (energi) untuk setiap orang di muka bumi," ujarnya lagi.

Salah satu permasalahan yang disoroti Hart dalam transisi energi ini adalah alokasi subsidi yang masih jauh lebih besar untuk energi fosil. Menurutnya, data IEA menunjukkan rasio 9:1 dalam konsumsi subsidi energi fosil dibanding energi bersih.

Kondisi ini terhubung dengan Indonesia dan negara berkembang lain di dunia yang masih mengandalkan dominasi pembangkit listrik tenaga uap dari batubara sebagai sumber listrik nasional. Menurut Hart, hal yang paling penting dan mungkin efektif dilakukan dalam transisi adalah menghentikan subsidi terhadap batubara.

"Kenyataannya, di banyak negara termasuk Indonesia, bahan bakar fosil mendapat subsidi besar, dan hal ini menyebabkan ketidakadilan pada penyediaan energi terbarukan," ujar Hart.

"Jadi di banyak negara, kita tidak bermain dengan aturan yang sama. Dan, sayangnya, banyak dari subsidi itu tidak menetes ke bawah, atau menjawab kebutuhan mereka yang miskin dan rentan."

Indonesia dan Lanskap Asia Tenggara

Indonesia telah menetapkan target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025, tapi data Kementerian ESDM hingga akhir 2024 menunjukkan capaian baru berada di angka 13,2%.

Pemerintah terus mendorong pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan bioenergi. Meski begitu, batu bara masih mendominasi bauran energi nasional.

Negara lain di kawasan Asia Tenggara menunjukkan progres beragam.

Vietnam, misalnya, menempati peringkat tertinggi di ASEAN dalam indeks transisi energi global, berkat dorongan kebijakan dan investasi agresif pada energi bersih. Malaysia menyusul, dengan skor tinggi dan kebijakan tegas untuk tidak lagi membangun pembangkit batu bara baru.

Sementara itu, Thailand dan Filipina terus berupaya mendiversifikasi energi, tapi capaian mereka masih tertinggal. Filipina sendiri menargetkan 50% bauran energi bersih pada 2040.

China memainkan peran besar di Asia, dengan kepemilikan lebih dari 70% kapasitas energi terbarukan regional. Namun, sebagai penghasil emisi terbesar dunia, transisi energi di China menjadi salah satu penentu keberhasilan global.

Hart menyebut setiap negara, termasuk Indonesia, akan memiliki jalur yang unik untuk menuju transisi energi bersih. Namun, satu hal yang pasti, jika menimbang masalah biaya produksi dan waktu pengembangan, energi terbarukan memiliki keunggulan komparatif yang sangat jelas terlihat.

"Pembangkit listrik batu bara atau berbasis gas membutuhkan waktu hingga lima tahun untuk dibangun, sementara tenaga surya atau tenaga angin membutuhkan waktu 1-2 tahun, dan nuklir 10-12 tahun. Jadi energi terbarukan menawarkan jalan tercepat dan termurah untuk elektrifikasi dan energi baru," kata Hart.

Namun yang paling penting, menurut Hart, adalah transisi energi tidak selalu harus cepat tapi juga harus berkeadilan.

"Di Indonesia, kita harus secara cermat menentukan jalur transisi yang paling cepat. Indonesia negara yang besar. Populasi, dan juga masyarakat Indonesia, punya kebutuhan sosial yang berlipat, dan masih bertumbuh dan berkembang, sehingga transisinya juga harus diseimbangkan dengan kebutuhan untuk berkembang," ujar Hart.

Sementara dalam mempercepat transisi energi yang berkeadilan, Hart juga menyoroti masalah dan tantangan yang mungkin muncul untuk masyarakat yang rentan.

"Elemen keadilan akan sangat penting untuk memastikan transisi energi ini bisa diterima di setiap negara. Faktor-faktor yang memperkuat sistem pengaman sosial, memastikan pekerja terutama mereka yang bekerja di industri energi berbasis fosil atau sektor terkait, bisa mendapatkan skill tambahan, sehingga mereka bisa melakukan peralihan yang lebih mulus saat negara bertransisi," ucap Hart.

Sementara itu, Profesor Widodo W. Purwanto, guru besar energi berkelanjutan dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia menyoroti bahwa meskipun Indonesia memiliki target transisi energi yang ambisius, implementasinya masih menghadapi tantangan besar.

Ia menyebut bahwa kebijakan antar sektor belum sinkron, dan political will belum cukup kuat untuk mendorong perubahan struktural yang dibutuhkan.

"Rating political will kita masih cukup rendah, meskipun target kebijakan energi transisi terlihat ambisius," ujar Widodo dalam wawancara terpisah.

Ia juga menekankan perlunya reformasi struktur industri energi nasional yang masih berbasis ekstraktif, serta pentingnya de-risking dan green financing untuk mempercepat adopsi energi terbarukan.

"Struktur industri kita masih berbasis minyak, gas, dan batu bara. Untuk transisi, kita perlu transformasi struktural dan kebijakan yang konsisten," tambahnya.

Negara Maju dan Kepemimpinan Transisi Energi

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER