Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) akan memanggil platform TikTok dan Meta terkait beredarnya konten provokatif yang memicu kericuhan di aksi demo DPR pada Senin (25/8).
"Yang pertama, saya sudah hubungi Head TikTok Asia Pasifik, Helena. Saya minta mereka ke Jakarta, kita akan bercerita tentang fenomena ini. Dan kita juga sudah komunikasi dengan TikTok Indonesia. Dengan Meta Indonesia juga kami sudah komunikasi," kata Wamenkomdigi Angga Raka Prabowo di Jakarta, Selasa (26/8).
Menurut Angga Raka, konten disinformasi, fitnah, dan kebencian (DFK) yang beredar di platform digital bisa merusak sendi-sendi demokrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Fenomena DFK ini akhirnya merusak sendi-sendi demokrasi. Misalnya teman-teman yang tadinya mau menyampaikan aspirasi, mau menyampaikan unek-uneknya, akhirnya menjadi bias ketika sebuah gerakan itu di-engineering oleh hal-hal yang, mohon maaf ya, yang DFK tadi," tuturnya.
Unjuk rasa di depan DPR pada Senin (25/8) berujung ricuh usai aparat dan massa terlibat bentrok belum lama usai dimulai. Aparat langsung membubarkan massa dengan menembakkan air dan gas air mata.
Meski begitu, sebagian besar massa memilih bertahan hingga malam hari. Aksi salah satunya menuntut pembubaran parlemen.
Terkait konten DFK, Angga Raka mengatakan platform dengan sistem dan teknologi kecerdasan buatan (AI) mereka harusnya bisa memfilter konten-konten tidak benar semacam itu dan melakukan take down.
Ia menegaskan bahwa take down bukan bertujuan untuk membungkam atau menghalangi kebebasan berekspresi. Filter konten hanya dilakukan pada konten provokasi yang sebenarnya tidak real di lapangan.
"Penyampaian aspirasi, berpendapat, ya di dalam koridor, dalam demokrasi boleh, silahkan. Tapi di dalam koridor yang baik, bukan hal yang untuk anarkis, bukan membawa, menggiring ke gerakan-gerakan yang sebenarnya enggak ada kan di lapangan," katanya.
"Dibilangnya tadi, misalnya ada bakar disini, ternyata real-nya tidak ada kan. Itu kadang-kadang mungkin gerakan yang di tahun kapan dibikin terus dinarasikan," tambahnya.
Maka dari itu, Angga Raka meminta platform yang beroperasi di Indonesia secara sistem menyaring konten yang terbukti masuk kategori disinformasi, fitnah, dan kebencian.
Lihat Juga : |
"Kami sampaikan kepada para pemilik platform yang beroperasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk juga patuh terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi kalau memang ada konten-konten yang isinya sudah jelas-jelas itu dalam kategori DFK, kita juga meminta platform untuk secara by system, secara otomatis juga menegakkan hukum yang berlaku di Indonesia," tegasnya.
Sementara itu, Dirjen Pengawasan Digital Komdigi Alexander Sabar menegaskan kewajiban platform melakukan moderasi konten secara mandiri.
"Para platform. Terutamanya yang kita sebut sebagai user-generated content ini. Sebenarnya di pihak mereka itu ada kewajiban mereka untuk melakukan moderasi konten secara mandiri. Jadi mereka bisa melihat konten-konten yang melanggar ketentuan peraturan perundangan-perundangan kita untuk bisa dilakukan filtering," katanya.
Ia mengatakan platform yang tidak patuh pada kewajiban ini bisa dikenakan sanksi administratif dan bahkan pemutusan akses.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyampaikan keprihatinan atas maraknya DFK di jagad internet.
"Makin ke sini itu tak hanya makin serius, tapi makin profesional. Dan ini bisa saja tidak hanya membuat kegaduhan tapi juga meresahkan. Bisa memecah belah bangsa bahkan bisa menghambat pembangunan kita," ujar Hasan.
(lom/mik)