Kenapa Pohon Sawit Tak Bisa Gantikan Peran Hutan Alami Cegah Banjir?

CNN Indonesia
Rabu, 17 Des 2025 08:00 WIB
Kelapa sawit tidak dapat menggantikan fungsi hutan alami dalam mencegah banjir dan longsor. Struktur akar dan keanekaragaman hayati menjadi faktor kunci.
Foto: Adrian Pelletier via Free Nature Stock

Pada kondisi natural, hutan dengan pohon secara alami memiliki kemampuan menahan, menyaring, dan mendistribusikan air secara seimbang, sehingga air hujan tidak langsung mengalir deras ke permukaan.

Ketika tutupan hutan hilang, seluruh mekanisme ekologis ini runtuh dan tanah menjadi lebih rentan terhadap erosi, banjir, dan longsor.

Menurutnya, hutan alami merupakan ekosistem kompleks yang berfungsi sebagai penyangga hidrologi dan penstabil tanah secara alami. Hutan primer memiliki struktur berlapis, mulai dari tajuk pohon, serasah, hingga sistem akar yang dalam dan saling mengikat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Semua ini bekerja menahan, memperlambat, dan mendistribusikan air hujan agar tidak langsung mengalir deras ke permukaan.

"Tajuk pohon di hutan alami menahan air hujan sehingga air turun perlahan dan meresap karena gravitasi sehingga mengurangi kecepatan air hujan saat sampai tanah, dan ini mengurangi efek kerusakan top soil," ujarnya,

Di hutan alami, tajuk pepohonan memecah energi hujan sebelum mencapai tanah. Air kemudian diserap oleh lapisan serasah yang tebal, sementara tanah kaya bahan organik mampu menyimpan air dalam jumlah besar.

Akar pohon yang panjang dan bercabang dalam berfungsi sebagai jangkar alami, terutama di lereng curam, sehingga tanah tetap stabil meski diguyur hujan lebat.

Dari sisi ekologis, hutan alami juga jauh lebih unggul. Hutan hujan tropis tua mampu menyimpan cadangan karbon hingga 4-10 kali lebih besar dibandingkan perkebunan kelapa sawit.

Karbon tersimpan tidak hanya di batang dan daun, tetapi juga di akar, tanah, serasah, dan kayu mati yang terurai sangat lambat. Sebaliknya, sawit hanya menyimpan karbon selama masa pertumbuhannya, dengan biomassa yang relatif kecil dan siklus tanam yang pendek.

Keanekaragaman hayati pun menjadi pembeda utama. Hutan alami adalah rumah bagi berbagai satwa liar seperti gajah, harimau, orangutan, hingga burung dan mikroorganisme tanah. Ekosistem kebun sawit yang seragam tidak mampu menyediakan habitat yang layak bagi sebagian besar satwa tersebut.

Taufikurahman menilai, maraknya konversi hutan menjadi perkebunan monokultur telah memperbesar risiko bencana hidrometeorologi, terutama di wilayah Sumatra dan Kalimantan.

Ia mengingatkan bahwa meskipun regulasi perlindungan hutan telah ada, lemahnya pengawasan dan tata kelola membuat alih fungsi lahan terus berlangsung.

"Tanah bekas kelapa sawit dan tambang itu sering rusak. Ada yang pH-nya sangat asam, ada yang strukturnya padat sekali," katanya.

Upaya pemulihan hutan, menurutnya, membutuhkan waktu panjang dan komitmen kuat. Tanah bekas kebun sawit sering kali padat, miskin bahan organik, bahkan bersifat sangat asam, sehingga perlu dipulihkan terlebih dahulu sebelum ditanami kembali dengan spesies lokal. Tanpa intervensi, proses pemulihan alami bisa memakan waktu ratusan tahun.

Menurutnya, menjaga hutan alami bukan semata soal konservasi, melainkan investasi jangka panjang untuk keselamatan ekologis dan manusia. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, masyarakat, dan dunia usaha menjadi kunci agar fungsi hutan sebagai benteng alami dari banjir dan longsor tetap terjaga.

(wpj/dmi)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER