Pyongyang, CNN Indonesia -- Pemilihan kepala daerah di Korea Utara telah dilaksanakan pada Minggu (19/7) kemarin.
Pemilihan ini menjadi yang pertama yang diselenggarakan di bawah masa kediktatoran komunis Kim Jong Un semenjak ia berkuasa pada 2011 lalu.
Namun, keberlangsungan pilkada ini tak serta merta memperlihatkan bagaimana kehidupan berdemokrasi yang digadang-gadang oleh Republik Rakyat Demokratik Korea ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, di dalam setiap kertas suara hanya ada satu nama di setiap daerah pemilihan. Hanya ada dua pilihan, menerima nama itu atau menolaknya.
Jika warga mendukung kandidat dalam surat suara tersebut, mereka masuk ke sebuah bilik dan mencontrengnya.
Jika warga menolak kandidat itu, mereka masuk di bilik yang berbeda dan mencoretnya. Namun dengan pengawasan ketat selama pemilu, butuh semangat berani mati untuk masuk ke bilik penolakan dan mencoret nama kandidat pilihan rezim Kim.
Hal ini sontak menunjukan bahwa siapa pun yang terpilih diawasi secara ketat oleh koalisi Front Demokratik Reunifikasi Tanah Air (DFRF) yang dipimpin oleh partai Kim, Partai Pekerja Korea.
Diberitakan The Independent, bagi siapapun warga Korea Utara yang diketahui tidak berpartisipasi dalam pemilihan, mereka beserta keluarganya akan 'mendapat masalah'.
Pilkada ini dilakukan setiap empat tahun sekali untuk mencari gubernur provinsi, wali kota dan perwakilan lokal setempat. Hasil pemungutan suara diperkirakan akan diumumkan pada awal minggu depan.
Korea Utara terakhir kali menyelenggarakan pemilihan lokal pada 2011 lalu. Saat itu warga yang menggunakan hak pilihnya mencapai 99,7 persen dari 24,9 juta pemilih, dengan tingkat persetujuan hingga 100 persen untuk setiap kandidat.
Hampir seluruh warga Korut menggunakan hak pilih, bahkan orang tua dan sedang sakit pun ikut serta melalui TPU mobile. Hanya mereka yang bekerja di laut atau sedang ke luar negeri yang diperbolehkan absen dalam pilkada.
Selain untuk mengokohkan cengkeraman rezim Kim, menurut Daniel Pinkston, pengamat di lembaga The International Crisis Group di Seoul, mengatakan bahwa ada tujuan lainnya dari pilkada yaitu mengawasi pergerakan masyarakat.
"Ini menjadi metode pengadilan sosial yang memungkinkan aparat memastikan keberadaan warga mereka dan mengidentifikasi orang-orang yang tidak berada di tempat seharusnya," kata Pinkston.
(den)