Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat menantang aparat penegak hukum menangkap buron kasus hak tagih (
cessie) Bank Bali pada 1999, Djoko S Tjandra setelah berhasil memulangkan buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Samadikun Hartono.
"Kami berharap tidak berhenti sampai di Samadikun. Tapi mereka yang telah jadi tersangka dan divonis sebagai pelaku kejahatan diburu tanpa henti," kata Anggota Komisi III DPR Taufiqulhadi di Gedung DPR, Jumat (22/4).
Djoko melarikan diri dari Indonesia sejak 2009 lalu. Kala itu, Djoko pergi menggunakan pesawat dari Bandara Halim Perdanakusuma ke Port Moresby, Papua Nugini, sehari sebelum Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan peninjauan kembali (PK) kasusnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam putusan PK tujuh tahun lalu, MA memutuskan Djoko bersalah dalam kasus
cessie Bank Bali. Djoko dikenakan hukuman dua tahun penjara serta membayar denda senilai Rp15 juta. Seluruh hartanya di Bank Bali senilai Rp54 miliar juga dirampas.
Sejak melarikan diri, hingga kini Djoko tak pernah kembali lagi. Direktur PT Ega Giat Prima itu juga tak terlihat pulang ketika almarhum ayahnya meninggal dunia awal tahun lalu.
Taufik menuturkan, Djoko masih mengontrol sejumlah bisnisnya yang ada di Indonesia. Karenanya, dia meminta pemerintah tidak mengabaikan hal tersebut.
"Karena sejumlah perusahaan besar di Indonesia masih dijalankan mereka dari luar negeri," ucap Politikus Partai Nasdem itu.
Dari penelusuran, Djoko identik dengan Group Mulia yang memiliki bisnis properti. Kongsi empat bersaudara yakni Tjandra Kusuma (Tjan Boen Hwa), Eka Tjandranegara (Tjan Kok Hui), Gunawan Tjandra (Tjan Kok Kwang), dan Djoko S Tjandra sendiri didirikan pada 1970.
Dekade 1990-an, Grup Mulia makin cemerlang saat dipegang oleh Djoko. Ia menjadi komandan utama pada kepemilikan properti perkantoran seperti Five Pillars Office Park, Lippo Life Building, Kuningan Tower, BRI II, dan Mulia Center.
Grup Mulia menaungi sebanyak 41 anak perusahaan di dalam dan luar negeri. Selain properti, grup yang pada 1998 memiliki aset Rp11,5 triliun itu merambah sektor keramik, metal, dan gelas.
(obs)