Jakarta, CNN Indonesia -- Dengan menggunakan pesawat ringan Piper Cub, Herdini Soeryanto (79) bersama instrukturnya, lepas landas dari Bandar Udara Adisutjipto. Kala itu pada 1964, ia terbang menuju Landasan Udara (Lanud) Wirasaba di daerah Purbalingga, Jawa Tengah. Di balik kemudi pesawat buatan Amerika itu, Herdini tidak pernah menyangka akan merasakan terbang di udara dan menjadi pilot perempuan pertama di TNI AU.
Pesawat ringan Piper Cub dengan jenis Piper PA-46 itu adalah jenis pesawat yang pernah diterbangkan Herdini. Ia hanya diperbolehkan terbang di sekitaran daerah Yogyakarta. Lanud Wirasaba yang kini berganti nama menjadi Lanud Jenderal Besar Soedirman adalah pangkalan AURI kecil yang berbentuk bandara militer, tempat yang paling ia ingat saat berlatih mengemudikan pesawat.
“Latihan memang dilakukan di sekitar Adi Sutjipto, bahkan waktu itu sampai ke Semarang. Take off dan landing masih harus didampingi sama instruktur. Setelah lulus pelatihan, baru boleh terbang sendiri,” ujar perempuan kelahiran 19 April 1938 ini.
Herdini adalah salah satu dari tiga puluh anggota Wanita Angkatan Udara (Wara) TNI AU Republik Indonesia angkatan pertama. Pendaftaran tersebut dibuka pada tahun 1963, saat Herdini masih menjadi mahasiswi Universitas Gadjah Mada.
Herdini yang sebelumnya pernah mencicipi kegiatan olahraga dirgantara terbang layang, akhirnya merasa tertarik untuk bergabung menjadi anggota TNI AU. Proses Seleksi dan setumpuk pendidikan militer di kaki Gunung Merapi pun ia jalani.
“Tiga bulan setelah ikut kegiatan dirgantara itu ada pendaftaran Wara. Walaupun masih kuliah, aku sudah lulus sarjana muda. Jadi, boleh mendaftar. Kami bertiga puluh dilatih di Kaliurang dari permulaan April sampai Agustus, lalu dilantik jadi Wara,” kenang Herdini.
Wara yang dibentuk atas bentuk realisasi dari emansipasi wanita, diberi kepercayaan oleh Kepala Staf TNI AU (Kasau) saat itu, untuk mencoba mengikuti pelatihan terbang. Laksamana Madya Udara Omar Dani dinilai melakukan percobaan apa perempuan bisa menjadi penerbang militer atau tidak. Dari tiga puluh anggota Wara, hanya 3 orang yang mendaftar. Dalam tahap selanjutnya, 2 orang berhasil lulus dan diizinkan untuk rilis terbang solo.
Untuk menjalani pelatihan terbang, Herdini harus menjalani serangkaian tes. Ingatan perempuan asal Semarang ini masih segar saat menceritakan tahap-tahap sebelum menjadi pilot. Salah satu memori yang paling membekas adalah ujian meniup balon untuk mengukur kesehatan paru-parunya. Selain itu, ada pula psikotest yang harus ia dan rekan-rekannya jalani sebelum mencicipi kokpit pesawat.
“Saat dibuka pendaftaran mencoba pelatihan terbang itu, aku hanya coba-coba. Lagi pula, selagi diberi kesempatan kenapa tidak? Terbukti setelah ikut pelatihan aku bisa. Selama terbang solo juga tidak pernah ada masalah. Perempuan mampu jadi pilot,” tegas ibu dari 3 orang anak ini.
Kesempatan yang sama Dengan pesawat Piper Cub yang tidak memiliki radio, perempuan ini tetap tegar walaupun tidak dapat berkomunikasi dengan orang-orang di menara pengatur lalu lintas udara. Meskipun sudah memiliki tugas sebagai intelejen yang merupakan bagian dari Intel Militer Udara, ia merasa tertantang untuk menjadi pilot. Herdini beranggapan bhawa pejabat di TNI AU saat itu ingin mencoba apakah perempuan bisa dilepas untuk terbang atau tidak.
“Waktu itu aku iseng bertanya, apa boleh kami meneruskan pendidkan untuk jadi penerbang. Jawabannya tidak boleh, mungkin karena tidak ada perintah lanjutan dari Kasau juga saat itu,” ujar Herdini
Sebagai Wara angkatan pertama yang ditarik menjadi penerbang, Herdini menilai dirinya dan Lulu Lugiyati (76), rekannya yang juga Wara dan penerbang militer memang dirintis sebagai percobaan. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan apakah perempuan akan berhasil atau tidak.
Saat posisi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dijabat oleh Jenderal TNI M. Yusuf yang menggantikan posisi Jenderal TNI Mareden Pangabean, Wara diizinkan untuk mengambil pelatihan terbang seperti laki-laki.
“Setelah hampir 54 tahun, sekarang ada kapten pesawat Airbus yang perempuan. Di penerbangan sipil juga sudah banyak kopilot perempuan. Instruktur penerbang yang berasal dari Wara, dan juga kopilot perempuan yang tergabung dalam penerbangan perintis di Papua juga sudah ada. Perempuan bisa juga menjalani profesi ini dengan baik,” tuturnya semangat.
“Ibu itu sosok yang mandiri, penuh semangat, dan lembut. Kemandiriannya, tidak tergantung pada orang lain, adalah hal kecil yang menginspirasi orang-orang di sekitarnya. Beruntungnya, hal tersebut menular,” ujar Nensi Soeryanto, putri bungsu Herdini hasil buah pernikahannya dengan penerbang TNI AU Kolonel (Pnb) Boyek Soeryanto.
Banyak hal yang masih dirasa kurang oleh Herdini. Sekitar 54 tahun setelah menjadi perintis adanya pilot perempuan, ia menyayangkan masih adanya ketidaksamaan kesempatan yang diberikan antara perempuan dan laki-laki. Namun menurutnya, peluang yang diberikan bagi perempuan sudah mengalami kemajuan dibandingkan dengan zaman dulu.
“Beruntung sekarang perempuan bisa dipercaya melakukan pekerjaan laki-laki. Menjadi teknisi di pengeboran lepas pantai, misalnya. Walaupun memang cukup lama proses untuk membiarkan perempuan mengisi posisi laki-laki,” jelasnya.
Herdini berharap, Indonesia di masa depan bisa memberikan lebih banyak kesempatan untuk perempuan. Citra bahwa perempuan yang bekerja tidak akan mengurus kewajibannya di rumah menurutnya juga harus dihilangkan. Perempuan yang dulu dianggap hanya bertugas untuk mengurus rumah tangga, bisa menjalani pekerjaan lebih dari itu.
“Jangan ada lagi pemikiran bahwa perempuan tidak bisa melakukan sesuatu. Kita di dunia ini harus setara, dalam segala hal. Dalam bidang pekerjaan di dalam rumah, atau apapun. Berikan perempuan kesempatan yang sama,” pungkas Herdini.