Sumedang, CNN Indonesia -- “Sumedang kerap membangga-banggakan Tjut Nja Dhien, tapi sedikit yang peduli dan datang kemari.” Kalimat tersebut terucap dari Dadan R. Kusumah, seorang kakek yang kala itu mengenakan baju serba hitam.
Sembari duduk di atas sebuah kursi lipat, ia bersungut mengungkap ironi gembar-gembornya peringatan Hari Kartini dan kurangnya perhatian pada pahlawan perempuan lain bernama Tjut Nja Dhien.
Sebuah mobil bak terbuka bercat dominan hitam dengan serba-serbi aksesoris berwarna merah mengantarkan saya dari Tanjung Sari ke Kota Sumedang. Seorang teman bernama Miftah berbaik hati memberi tumpangan melintasi jalanan aspal yang membelah belantara hutan, termasuk jalan yang melintasi Cadas Pangeran. Kami juga melintasi patung jabat tangan Daendles dan Pangeran Kornel yang menjadi ciri khas Cadas Pangeran.
Sekitar setengah jam perjalanan kami tiba di Kota Sumedang. Tujuan saya kali ini adalah komplek makam Gunung Puyuh. Sesampainya di depan pintu gerbang makam suasana begitu sepi. Namun sisi lain sebagai sebuah komplek pemakaman, kebersihan area ini begitu terjaga dengan tidak adanya sampah berserakan meski ada penjual makanan di area makam. Area pemakaman memiliki banyak pohon besar dan rindang yang membuat suasana sejuk.
Area wisata sejarah dan religi yang saya tuju ternyata berada di bagian bawah komplek makam Gunung Puyuh. Setelah naik kebagian atas komplek saya harus turun ke bawah untuk bisa masuk ke area makam Tjut Nja Dhien, pahlawan perempuan Indonesia yang dimakamkan di sini.
Ketika masuk ke area makam pahlawan asal Aceh tersebut saya bertemu dengan seorang tukang sapu bernama Kokom. “Bentar dek saya panggilkan juru kuncinya,” jawabnya ketika ditanya tentang keberadaan sang juru kunci.
Tak lama berselang, muncul seorang kakek dari sebuah gubuk di samping pemakaman. Ia keluar sambil membenarkan letak kancing bajunya. Ia memakai baju kain hitam dan juga celana kain hitam, dengan bahasa Sunda kental kami disambut dan dipersilahkan masuk ke areal pemakaman.
Memasuki kawasan makam, makam Tjut Nja Dhien ini bisa dibilang sebagai makam yang terawat. Ketika saya datang nampak seorang lelaki tua lain tengah membersihkan area makam.
Juru kunci makam ini tidak lain dan tidak bukan bernama Dadan R. Kusumah. Selain berperan sebagai juru kunci, ia juga memiliki peran sebagai pengelola pemakaman ini. Ia mengaku bergantung pada dana swadaya yang diberikan masyarakat dan sumbangan donatur untuk tetap bertahan hidup. “Sehari-hari, kami menggunakan dana yang ada pada kotak amal untuk operasional sehari-hari,” ujar kakek yang menjelaskan dengan tatapan mata yang dalam itu.
Makam Tjut Nja Dhien sendiri selain terhitung bersih juga memiliki beberapa sisi menarik dan unik. Dari area makam ini, kita dapat langsung melihat pemandangan rumah penduduk dan area persawahan yang berada di kaki Gunung Tampomas. Selain itu, makam Tjut Nja Dhien terlindung dengan rumah kayu kecil sehingga makam dan peziarah terlindung dari paparan langsung sinar matahari dan guyuran hujan.
Di rumah kayu kecil itu juga terpampang foto Tjut Nja Dhien. Hal lain yang terdapat di area makam pejuang Perang Aceh ini adalah sebuah meunasa (musala) bagi pengunjung untuk beribadah.
Hari ketika kami berkunjung ke makam Tjut Nja Dhien bertepatan dengan Hari Kartini. Namun ketika saya datang ke makam Tjut Nja Dhien, tidak ada pengunjung lain selain saya dan teman.
Saya awalnya cukup percaya diri akan ada orang yang berziarah untuk menghormati pahlawan ini. Sesaat sebelum pulang, datanglah empat orang laki-laki yang datang untuk berziarah. Mereka dengan ramah meminta izin kepada juru kunci yang kebetulan tengah mengobrol bersama saya saat itu.
Salah satu di antara empat orang itu bernama Fahrizal yang datang jauh dari Medan untuk berziarah di makam Tjut Nja Dhien. “Kami memang jauh-jauh dari Medan sengaja datang kemari untuk berziarah dan ingin tahu makam Tjut Nja Dhien,” ungkap lelaki berbadan besar tersebut.
Dadan Kusumah di sela penjelasannya tentang pengelolaan makam ini juga sempat berkisah tentang sejarah Tjut Nja Dhien di Sumedang. Tjut Nja Dhien merupakan tahanan politik Hindia Belanda yang dibuang ke Sumedang pada 11 Desember 1905.
Ia dibuang dalam kondisi tidak bisa melihat. Di Sumedang Tjut Nja Dhien di rawat oleh keluarga K.H. Sanusi hingga menghembuskan nafas terakhir pada 6 Nopember 1908. Dalam tempo waktu yang singkat tersebut nampaknya Tjut Nja Dhien mampu memberikan kesan mendalam bagi masyarakat Sumedang kala itu. Meski buta Tjut Nja Dhien bisa memberikan pelajaran agama pada masyarakat dan ia mendapat julukan Ibu Perbu atau Ibu Ratu.
Cekrek, cekrek, cekrek..suara rendah telepon genggam saya saat mengambil gambar potret makam. Sang juru kunci memang telah memberikan izin bagi saya untuk memotret. Saat usai memotret saya mendekat padanya, ia lirih berkeluh kesah.
“Perjuangan Tjut Nja Dhien bisa dibilang lebih sulit, ia benar-benar ikut di perang fisik. Namun ia belum banyak dihargai, saya berpikir bahwa Tjut Nja Dhien sudah selayaknya diperingati satu hari khusus. Seperti Hari Tjut Nja Dhien,” ungkapnya sembari sesekali melayangkan pandang ke langit cerah.
Ketenangan wisata religi dan sejarah tersebut memang sempat hilang ketika kami datang. Namun pergi ketenangan itu akan kembali, baik pada makam Tjut Nja Dhien dan juru kuncinya. Tempat ini akan tetap ada di bawah kaki bukit Gunung Puyuh untuk mengingatkan masyarakat bahwa Tjut Nja Dhien hadir di Sumedang.