Gretek, CNN Indonesia -- Umat Hindu di Desa Pakraman Geretek, Buleleng Bali, punya cara tersendiri memohon perlindungan kepada Tuhan dari
Gerubug atau musibah massal. Yakni dengan menggelar tradisi
cak-cakan.
Anda bisa menjumpai upacara Bhuta Yadnya ini, saat memasuki waktu Tilem Sasih Kapitu. Yaitu salah satu hitungan hari, yang tertera pada penanggalan di kalender Hindu Bali. Lalu seperti apa kisah di balik tabir ritual sakral ini? Saya akan membagi ceritanya dari pengalaman saya, yang waktu itu berada di Desa Geretek saat
Mecak-cakan berlangsung.
Saat itu hari semakin siang (11/01), jam di tangan sudah menunjukkan waktu 10.17 WITA. Sang surya terlihat meninggi dan semakin terasa menghangatkan kulit. Sejumlah
krama istri terlihat masih sibuk melakukan ritual
Mepejati di Pura Bale Agung yang berada di Desa Pakraman Geretek.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka juga harus bersembahyang di 7 pura, dan 1 puri yang tersebar di desa. Maklum saja, ini karena Gretek merupakan salah satu desa tua yang ada di Buleleng dan mempunyai banyak pura yang wajib untuk disembahyangi. Mereka melakukan
Matur Piuning di banyak pura untuk maksud akan diselenggarakan
pecaruan, dan menggelar tradisi
megibung untuk memohon perlindungan dari Gerubug, atau musibah massal.
Mengungkap cerita musibah massal, sebelumnya saya sebenarnya sempat mendengar kisah yang masih menghantui warga itu. Jro Nengah Nama salah satu tokoh masyarakat di desa bercerita, konon pernah tumbuh sebuah labu yang dianggap aneh, labu tersebut tak seperti labu biasa yang tumbuh merambat di atas tanah, labu itu tumbuh seperti ketela yang membesar di dalam tanah.
“Orang tua di sini pernah cerita sama saya, dulu tahun berapa saya kurang tahu. Orang di desa ini pernah
ndak mau makan, bahkan banyak yang lari dari desa. Karena dikatakan di sini Ida Batara murka dengan memberikan racun dalam buah labu yang tumbuh di dalam tanah,” ungkap Jro Nengah.
Lanjut cerita, “Ini awalnya dari perbuatan manusia, yang saya dengar karena sering terjadinya perseteruan. Sudah itu orang-orang kan mau
maturan ke pura, sajennya itu diisi racun. Maksudnya nanti
kadong ada temannya minta, dikasi supaya disangka tidak berisi racun. Akibatnya Ida Batara tahu, sehingga terjadilah labu menjadi racun teramat keras dan tak ada obatnya,” ungkap Jro Nengah Nama saat menceritakan lebih dalam penyebab musibah, dan menafsirkan legenda labu beracun tersebut.
“Ini juga karena ada cerita, mungkin saja pernah ada seperti itu. Karena ada perselisihan, ini cerita ini, tapi
tiang mohon maaf kepada Yang Maha Kuasa kepada juga Hyang Ida Batara yang
melinggih iriki,” ujar Jro Nengah Nama seperti merasa takut salah menceritakan, tentang legenda yang pernah ia dengar dari leluhur sebelumnya.
Kembali ke suasana desa, seiring waktu para
krama istri yang masih
maturan di banyak pura, di sisi lain hal yang berbeda justru tampak di Pura Sanggah Desa. satu persatu
krama lanang masuk ke areal
jaba tengah untuk menggelar Tabu Rah. Ada yang membawa ayam aduan, ada pula yang membawa taji untuk dijadikan senjata buat ayam bertarung. Selain di pura
sanggah desa, sabung ayam juga digelar di perempatan desa.
Nyoman Sudha, seorang Kelian Desa Adat di Desa Gretek yang saat itu menemani saya untuk melihat rangkaian ritual
mecak-cakan, menjelaskan kalau sabung ayam yang terjadi merupakan ritual yang sakral, dan harus menjadi rangkaian upacara.
“Saat itu para
penglingsir mendapat penyampaian harus diselenggarakan upacara
bhuta yadnya yang bernama
cak-cakan, dengan wujud melakukan adu
sata alias sabung ayam. Ini adalah penyampaian dari
penglingsir kami.
Penglingsir kami pun tidak tahu sejak kapan, karena sudah tahu dari generasi ke generasi,” ujar Sudha saat saya mempertanyakan kenapa harus ada sabung ayam.
Ayam yang menang, mendapat tepuk tangan meriah dari para pendukungnya. Sementara ayam yang kalah, diserahkan kepada
krama yang bertugas mencabuti bulu ayam untuk kemudian dimasak. Saat proses memasak ini, suasana riang tercipta di sesama
krama. nuansa kebersamaan yang terjalin, menciptakan hubungan harmonis sesama umat.
Tradisi
mecak-cakan di Desa Pakraman Geretek, memang bukan hanya melakukan
tabuh rah atau sabung ayam di jaba tengah Pura Sanggah Desa. Namun juga harus diisi dengan masak bersama,
pecaruan, hingga makan bersama atau
megibung. Wajar saja jika ritual ini berlangsung dalam durasi waktu cukup panjang, dan bisa berlangsung hingga senja menjelang malam. Terlebih saat malam hari, warga yang sedang makan bersama di pinggir jalan perempatan desa, sambil menikmati sajian dengan bersenda gurau dan gelak tawa. Hal inilah yang menjadikannya disebut
mecak-cakan, yang sesungguhnya memiliki makna bersuka ria.
Tetua desa setempat meyakini ritual
mecak-cakan ini sebagai perwujudan Tri Hita Karana, yaitu kesimbangan antara manusia dengan Tuhan, keseimbangan manusia dengan alam, dan keseimbangan antara manusia dengan manusia. meski sesungguhnya
mecak-cakan adalah wujud dari
bhuta yadnya, di desa setempat.