Yogyakarta, CNN Indonesia -- Indonesia masih menerapkan kurikulum pendidikan kuno (old ways teaching). Hal itu tercermin dalam budaya menghafal (brain memory), fokus pada papan tulis, dan dominasi berlebihan guru atas siswa. Kurikulum pendidikan kita juga serupa superman: peserta didik diharuskan menguasai empat bidang sains (biologi, fisika, kimia, matematika), tiga bahasa (bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan satu bahasa lain), ditambah PKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, kesenian, olahraga, dan lain-lain. Atas dasar efisiensi, sekolah tidak bersedia menyelami lentera jiwa siswa lebih dalam. Siswa hanya diukur melalui kecakapan ujian (exam merit) lalu dibandingkan satu sama lain dengan angka-angka di atas kertas yang kemudian berubah menjadi peringkat. Terlebih ketika Ujian Nasional (UN) menjelang, siswa seolah ‘didikte’ bahwa UN adalah satu-satunya jalan pembuka masa depan. Para siswa malah dibuat stress dan gelisah. Alhasil, banyak korban kesurupan alias kerasukan setan. Tidaklah keliru apabila sekolah kemudian berubah menjadi tempat yang menakutkan, melahirkan korban-korban kesurupan, stressful, juga membudayakan budaya mencontek.
Zaman selalu melahirkan anak zaman. Pemerintah tidak semestinya menggunakan cara yang sama untuk permasalahan di zaman yang berbeda. Sudah seharusnya kita meninggalkan old ways teaching dan beralih pada sistem pendidikan yang lebih mutakhir dan ideal. Kita harus mulai memperbaharui metode dan membongkar kurikulum. Siswa jangan lagi diharuskan melipat tangan di atas meja sambil mengangguk-angguk mendengarkan sang guru. Mereka harus dilatih untuk critical thinking dan aktif berkreasi. Jangan sampai mereka memiliki ketergantungan yang tinggi pada guru dan buku. Mereka harus diajarkan bagaimana dapat berdiri tanpa keduanya.
Selain itu, sistem pendidikan Indonesia seharusnya tidak lagi dijadikan sebagai ajang transfer ilmu dimana murid menjadi blueprint sang guru. Peserta didik harus dibentuk agar mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan sehingga tujuan akhir pendidikan untuk menghasilkan generasi yang dapat menjawab tantangan zaman bisa tercapai. Guru-guru tidak lantas mendidik peserta didik hanya berdasarkan silabus yang sangat tidak fleksible, tetapi juga harus lebih melihat pada apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh peserta didik. Untuk itulah, guru-guru harus kembali pada hakikat azalinya sebagai pendidik, bukan sekadar pengajar yang mempersiapkan peserta didik untuk lulus ujian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Model ujian yang sebagian besar berbentuk pilihan ganda (test-block) juga perlu dihilangkan. Model esai yang lebih mengedepankan peningkatan daya kritis peserta didik harus diutamakan. Konsep tersebut akan merangsang peserta didik untuk menghidupkan denyut nadi baca dan mencintai riset pustaka sehingga akan terbentuk pola berpikir kreatif dan terbuka dalam menyelesaikan masalah. Sebab, menyelesaikan persoalan kehidupan bukan perkara memilih A, B, C, D atau menentukan benar-salah, tetapi memerlukan pemahaman mendalam yang didapat melalui kebiasaan berpikir kritis. Ujian-ujian yang mendewakan nilai di atas kertas sebagai ukuran absolut juga pantas untuk diubah. Bentuk-bentuk ujian, termasuk ujian nasional, diganti menjadi proyek sosial atau karya ilmiah. Hal ini akan tertanam ke dalam alam bawah sadar peserta didik bahwa kesuksesan yang hakiki tidak diukur melalui kalkulasi angka dan teknik menjawab soal yang tangkas, melainkan melalui ketekunan dan kerja keras.
Idealnya, sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan bagi mereka. Jangan sampai sistem yang kita buat justru memenjarakan jiwa generasi muda kita. Biarkan hasrat mereka bebas. Mereka memiliki pikiran seluas cakrawala kosmos. Mereka bukanlah robot yang harus dikendalikan sesuka kehendak guru. Mari kita manusiakan mereka. #LombaMenulisHardiknas
(ded/ded)