Jangan Pilih Sekolahku Kalau Cuma Mau Pintar

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Jumat, 20 Mei 2016 13:00 WIB
Kalau cuma mencetak anak-anak pintar, semua sekolah juga bisa. Tapi sekolahku beda.
Ilustrasi (CNN Indonesia/ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin)
Jakarta Selatan, CNN Indonesia -- Kalau cuma mencetak anak-anak pintar, semua sekolah juga bisa. Tapi sekolahku beda. Sekolahku mengutamakan kejujuran. Tiap hari kubaca dan kudengar berita korupsi. Ternyata negeriku tidak pernah kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur. Justru bapak dan Ibu koruptor itu orang-orang pintar kan? Sekolahku mau membuktikan masih banyak orang jujur di Indonesiaku. Masih banyak. Negeriku juga punya banyak orang pintar, tapi tidak kreatif. Jaman sekarang, sulit rasanya kepintaran tanpa kreatifitas. Sekolahku juga mendukung tiap kreatifitas siswanya.

Kalau cuma santun, semua sekolah juga mengajarkan sopan santun, tata krama dan pelajaran agama. Indonesiaku juga punya banyak orang-orang santun yang mengerti agama, tapi negeriku kekurangan orang-orang santun yang punya empati. Kata mama negeri ini krisis kejujuran bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi justru karena diam dan tidak pedulinya orang-orang baik. Apa sih empati itu? Aku tidak pandai menjelaskan. Bagiku empati itu cukup jika bisa mendengar dari orang lain, bersimpati atas kesulitan mereka, peduli terhadap lingkungan dan yang paling penting mau berbuat. Ah….banyak orang bisa membaca buku-buku sains tebal, tetapi justru tidak bisa membaca keadaan sekitarnya. Sekolahku suka memberi tugas, biasa disebut “project”. Setiap hari kami harus berbuat satu kebaikan. Setelah 3 atau 7 hari, project tersebut dipresentasikan di depan kelas, kepedulian dan kebaikan apa yang sudah kami berikan kepada lingkungan dan apa hasilnya. Seperti hari ini. Ada tugas dari Pak Iyan…

“Anak-anak, kalian harus memberikan senyum kepada 10 orang yang paling sulit tersenyum. Coba berikan senyuman kepada orang yang kalian benci, atau justru yang membenci kalian atau orang yang paling masam raut wajahnya. Bapak beri waktu seminggu kedepan mulai dari hari ini ya. Setelah itu, kalian harus mempresentasikan di depan kelas waktu pelajaran bapak”, begitu kata Pak Iyan pagi ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aku, Shula, Nadine, Jemima, Aurel dan Aisya segera membuat daftar orang-orang yang akan kami beri senyuman. Dimulai dari kakak kelas yang paling galak, Ibu guru yang paling sulit memberi pujian, bapak guru yang selalu cemberut sampai tetangga Jemima yang cacat karena lumpuh kakinya. Setiap kali daftar itu dibuat, pasti ada saja yang menolak dan akhirnya diganti orang lain yang kami pikir lebih mudah tersenyum. Kami takut juga, apa jadinya kalau ternyata kakak kelas yang paling galak tidak mau membalas senyuma kami, atau justru dia malah tambah marah dan mengira kami sok cari perhatian.

“Aduuuuuh, siapa pun asalkan bukan Kak Ricky. Galaknya minta ampun.”, teriak Aisya siang ini ketika istirahat, kita berunding siapa yang akan kita berikan senyum. Kita tidak pernah sepakat. Lagipula, banyak tugas-tugas dari Bu Isma, Pak Daru, belum lagi ulangan-ulangan dan ekskul kami yang berbeda-beda. “Kita cari masing-masing aja ya, akan jadi kejutan untuk kita siapa yang akan kita beri senyuman”, kata Aisya memberi ide. “Princess, setuju nggak?”, tanya Shula kepada ku saat semua ternyata mengangguk dan aku masih diam saja. Terus terang, ada satu orang yang aku perhatikan selalu terlihat sedih. Bukan Kak Fatimah, yang ayahnya baru saja meninggal. Bukan juga Pak Atmo, penjaga sekolah yang baru saja kehilangan isterinya. Atau bukan juga kak Ricky dan kak Menuk yang terkenal paling galak di sekolah. Tapi Bu Sumi, penjual ayam penyet di kantin sekolah.

Tiap kali aku membeli dagangan Bu Sumi, dia memang selalu tersenyum melayani aku. Tapi aku tahu, ada airmata di balik setiap senyumannya. Seperti hari ini. “Biasa nak Princess?, paha ayam dengan nasi dan sayur?”, tanya Bu Sumi ramah kepadaku. Aku mengangguk. Saat aku makan, tidak sengaja kulihat Bu Sumi menyeka airmata di pipinya. Aku sudah punya 9 orang tersulit yang akan aku berikan senyuman. Sejak kemarin, aku berpikir keras siapa orang ke 10 yang akan aku berikan senyuman? Kalau Bu Sumi kan tidak galak. Justru dia sering sekali tersenyum. Bahkan saat ayam dagangan Bu Sumi tidak sengaja tumpah oleh Shula, Bu Sumi tetap tersenyum.

Nah, hari ini aku yakin, ada airmata di balik setiap senyuman Bu Sumi. Entah apa. Aku bertekad pulang sekolah nanti aku akan mendatangi Bu Sumi lagi. Setelah bel berbunyi siang ini, aku kembali mendatangi Bu Sumi. Kali ini bukan untuk membeli ayam dagangan nya, tapi untuk mencari tahu kenapa ada airmata di balik setiap senyumannya yang dipaksakan. “Nak Princess, ibu tidak apa-apa kok”, begitu jawab Bu Sumi ketika aku menanyakan langsung kepadanya. “Ayolah Bu. Aku tahu Ibu sering menangis di balik dapur Ibu tiap kali aku makan disini”, kataku menjawab.

Akhirnya Bu Sumi mau bercerita. Dia punya seorang anak perempuan. Ema namanya. Saat Bu Sumi menunjukkan foto Ema, aku langsung mengerti mengapa Bu Sumi sering menangis kalau aku makan di tempatnya. Ema mirip sekali dengan aku. Kaki Ema lumpuh. Dokter yang merawat Ema minta kesempatan untuk menyembuhkan Ema lewat operasi, tapi Bu Sumi tidak punya uang. “Ah, andaikan ibu punya uang, Ibu ingin Ema bisa dioperasi supaya bisa berjalan dan sekolah disini seperti ananda Princess”, tangis Bu Sumi kepadaku.

Malam itu juga aku menghubungi Shula, Nadine, Jemima, Aurel, dan Aisya lewat grup di telfon selular pintar kami. Kami sepakat mengumpulkan uang untuk membantu Ema. Akhirnya Alhamdulillah terkumpul 3 juta Rupiah dari kami ber 6. Kami berharap lusa setelah presentasi mata pelajaran Pak Iyan, kami bersama akan menyerahkannya kepada Bu Sumi.

“Princess, sekarang giliran kamu maju”, kata Pak Iyan memanggilku. Saat aku menceritakan orang ke sepuluh dalam daftarku adalah Bu Sumi dan saat aku menceritakan kisah sedih Ema dan Bu Sumi, seisi kelas terdiam. Bahkan Pak Iyan pun diam tidak mampu berkata-kata. Alhamdulillah semua kelas 7A mau ikut menyumbang. Hal ini pun kami sampaikan kepada Bu Shinta, wali kelas 7A. Dari kelas kami, Alhamdulillah terkumpul Rp. 20 juta. Siang itu, kami ber 6 memberikan uang tersebut ke Bu Sumi. Bu Sumi menangis dan tidak mampu berkata-kata.

Kabar ini ternyata menyebar ke seluruh sekolah. Kakak kelas 8, kakak kelas 9, para guru bahkan oarngtua murid ikut mengumpulkan sumbangan untuk Ema. Pak Ukim sendiri, Kepala Sekolah kami yang memberikan sumbangan itu kepada Bu Sumi. “Saat nanti Ema sembuh, biarkan Ema sekolah disini, Bu”, kata Pak Ukim kepada Bu Sumi. Bu Sumi pun langsung sujud syukur.

Aku bersyukur orang ke sepuluh dalam daftarku adalah Bu Sumi. Memang Bu Sumi bukan orang yang sulit tersenyum, tapi orang dengan airmata di balik setiap senyumannya.
Nah, sudah kubuktikan sekolahku bukan cuma mencetak anak-anak pintar. Sekolahku mengajarkan empati. Sesuatu yang dibutuhkan bangsa ini disamping kepintaran, kejujuran dan sopan santun.

Jangan pilih sekolahku kalau cuma mau pintar…

#LombaMenulisHardiknas

(ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER