Mitos dalam Jurnalisme

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Senin, 20 Jun 2016 11:03 WIB
Jurnalisme menjadi mitos ketika berada di wilayah konotatif. Benarkah kemudian jurnalisme tak lagi layak disebut sebagai pilar keempat demokrasi?
Ilustrasi (chameleonseye/Thinkstock)
Tangerang, CNN Indonesia -- Komunikasi adalah salah satu cara manusia mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaannya. Dengan komunikasi, manusia mengaktualisasikan segala potensinya. Dalam setiap gerak, manusia berkomunikasi dalam berbagai bentuknya, mikro, meso, dan makro. Komunikasi juga merupakan konsekuensal dari posisi manusia sebagai makhluk sosial.

Definisi komunikasi sangat beragam. Littlejohn dan Karen A. Foss mencatat keberagaman definisi komunikasi karena berangkat dari tiga level yang berbeda, yaitu, level of observations atau abstractness, intentionality, normative judgement.

Sepanjang sejarahnya, komunikasi mengenal dua aliran/mazhab pemikiran. Yakni aliran perpindahan pesan (mazhab transmisi) dan aliran pertukaran makna (mazhab semiotika). Aliran penyampaian pesan (transmission of massages) adalah yang pertama dan tertua. Ia berkembang di Amerika Serikat, tepatnya sebelum perang Dunia II. Oleh karena itu, komunikasi selalu diindentikan dengan penyampaian pesan dari komunitor ke komunikasi. Hal ini wajar karena mazhab ini adalah yang pertama dan sudah ada sejak disiplin komunikasi pertama kali digulirkan. Ungkapan Harold Lasswell who says what, in which channel, to whom, with what effect adalah yang menandaskan tentang aliran perpindahan pesan ini.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Elemen poko dari aliran transmisi ini adalah komunikator, pesan, media, komunikan, dan efek. Dalam persfektif ini, komunikasi adalah sebuah proses perpindahan pesan atau komunikasi bisa dipahami sebagai proses-proses penyampaian pesan baik verbal maupun no verbal.

Sedangkan aliran pertukaran makna (production and exchange of meanings) digagas datang belakangan. Tepatnya datang setelah perang Dunia II. Ia berkembang di Eropa. Mazhab ini di populerkan oleh tokoh seperti James Carey dan John Fiske. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda dan makna. Komunikasi dalam pendekatan semiotik ini melibatkan unsur bahasa (linguistik) dan aspek-aspek seni

Konstruksi Realitas Sosial
Teori konstruksi realitas sosial adalah Has Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Teori ini di lansir dalam buku the sosial construction of reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (diterjemahkan menjadi Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1991). Sejak dicetuskan pada 1966, teori ini banyak menginsfirasi kajian dirana ilmu sosial, termasuk komunikasi. Namun tidak jarang muncul kritik dan masukan pada teori tersebut. Termasuk teori untuk melengkapi sesuai dengan perkembangan sosial yang terus berjalan.

Secara umum, teori Berger dan Luckman membahas tentang sosiologi pengetahuan. Keduanya berusaha mengambalikan hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka rana sosiologi. Ada beberapa langkah yang dilakukan keduanya. Antara lain, mereka mencoba mendefinisikan pengertian apa itu ‘kenyataan’ dan ‘pengetahuan’ dalam konteks sosial. Selain itu, Berger dan Luckman, menemukan metodologi yang tepat untuk meneliti pengalaman intersubjektivitas dalam konstruksi realitas sosial. Terakhir, mereka memilih logika yang tepat dan relevan untuk sosiologi pengetahuan.

Menurut keduanya, kenyataan dibangun secara sosial, sehingga sosiologi pengetahuan harus menganalisis terjadinya kenyatan tersebut. Dalam pengertian tersebut, setuap individu dalam masyarakat merupakan pihak yang membangun masyarakat, pengalaman individu tidak bisa dipisahkan dengan gerakan dan dinamika masyarakatnya. Dari sini lah lahirnya tiga konsep mereka yang terkenal, yakni, proses-proses dialektis objektivitasi, internalisasi, dan eksternalisasi.

Internalisasi adalah proses ketika masyarakat sebagai kenyataan subjektif menyiratkan realitas objektif ditafsirkan secara subyektif oleh setiap individu. Dalam proses penafsiran tersebut terjadilah internalisasi. Dengan demikian, internalisasi merupakan proses manusia untuk memasukan dunia yang dihuni bersama individu yang lain. Objektifitasi merupakan hasil yang digapai (mental dan fisik) dari eksternalisasi. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif setiap individu. Ian menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami masing-masing individu. Pada tahap inilah masyarakat harus dilihat sebagai realitas yang objektif. Sedangkan eksternalisasi adalah usaha atau ekspresi setiap individu kedalam dunia, baik mental ataupun fisik. Proses ini adalah ekspresi untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat.

Konstruksi Realitas Media
Media massa dengan segala perangkat dan kelengkapannya bukan lagi merupakan kebutuhan masyarakat kontemporer. Ia adalah urut nadi dan kesadaran. Tidak ada ruang hampa yang lepas dari pengaruh media massa, baik itu negatif ataupun positif bahkan biasa dikatakan bahwa media massa merupakan sesuatu yang given.
Menurut Akbar S. Ahmed ada beberapa karakteristik media. Pertama, media tidak setia dan tidak ingat teman. Kedua, media memperhatikan warna kulit dan pada lahirnya bersifat rasis. Ketiga, media adalah pengabdian diri dan bersifat sumbang. Keempat, media massa telah menakhlukan kematian. Kelima, pada dasarnya media bersifat demokratis dan mewakili masyarakat umum. Keenam, media telah membuat fakta menjadi lebih asing daripada fiksi, sehingga fiksi lebih enak dilihat dan didengar. Ketujuh, media dengan dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral dan pesan-pesan spiritual. Kedelapan, media kuat karena teknologi tinggi, tetapi lemah karena antropologi kultural. Kesembilan, dalam dunia kita media emmainkan peran kunci dalam masalah internasional dan akan terus meningkatkan peran tersebut.

Sejak kemunculan internet, plus kemudahan mengaksesnya, berbagai aspek kehidupan masyarakat berubah secara drastis dan dramatis. Internet juga sering disebut konvergasi media dan media internal. Kemunculan media akses yang berbasis internet kian mempertajam efek media. Internet memiliki memampuan yang belum ada sebelumnya untuk mengembangkan bentuk baru relasi sosial dan untuk mendeskripsikannya melalui kebaruan interaktivitas. Karena itu, internet kini telah menjadi sumber individu bebas dan kelompok kecil dalam dunia egalitarian yang didalamnya individu tidak dirintangi oleh batasan bangsa, kelas, gender, atau properti. Setelah media cetak dan elektronik menghegemoni masyarakat dalam beberapa dekade terakhir, kini internet menjadi biang arus informasi.

Harus diakui internet menciptakan kebebasan individu yang tidak pernah ada dan terbayangkan sebelumnya. Tanpa sekat kultural apapun (termasuk sekat etnis, ras, agama, geografis, dan strata sosial) individu bebas melakukan aktifitas diruang cyberpublik. Ia bebas berpendapat, berekspresi, dan berserikat tanpa ketakutan. Dalam situasi dan kondisi ini, kontrol etika dan moral cenderung mengendur. Etika sosial dari keluarga, masyarakat, negara, dan institusi formal lain yang selama ini mengikat dan membatasi ruang gerak akan memudar. John Perry Barlow melihat internet sebagai keterputusan yang membebaskan diri dari semua bentuk kekuasaan negara yang akan mencoba meregulasinya.

Sebuah berita di media bukan hanya rangkaian fakta yang tersusun menjadi sebuah kalimat, paragraf, tayangan, dan siaran. Ia juga merupakan resperentasi dari pikiran dan sikap penulis, kameramen, asisten redaktur, redaktur, produser, dan editor, plus kebijakan redaksi yang tertuang dalam editorial atau tajuk rencana. Minimal segala latar belakang budaya, pergaulan, dan pendidikan wartawan sangat mempengaruhi bagaimana fakta dikonstuksi dalam sebuah berita. Fakta yang hanya ditulis apa adanya akan kering gaya dan tidak nyaman dibaca. Gaya menyajian ini pula membuat berbagai warna. Dengan demikian, mulai dari mencari, menemukan, dan menkonstruksi fakta, wartawan sudah dikonstruksi dengan berbagai hal yang tidak netral dan independen.

Ada tiga pertimbangan sebuah peristiwa menjadi berita di media, yaitu ideologis, politis, dan bisnis. Pertimbangan ideologis terjadi karena faktor pemilik atau nilai-nilai yang dihayatinya. Pertimbangan politis berangkat dari kenyataan bahwa pers tidak terlepas dari kehidupan politik. Apalagi pers adalah disebut sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate of democracy). Sedangkan kepentingan bisnis berkaitan dengan pemasukan dari iklan. Ketiga pertimbangan itu juga berpengaruh pada sudut pandang berita. Disinilah kebijakan redaksi menentukan arah sebuah berita. Makanya tidak ada berita yang netral, tuna-ideologi, dan tanpa kepentingan. Sebab berita, seperti produk media lain. Merupakan hasil seleksi dan rekonstruksi.

Bahasa dan Konstruksi Realitas Media
Manusia adalah makhluk yang berbahasa. Dengan bahasa manusia melakukan komunikasi. Menurut Poepoprodjo yang dikutip Alex Sobur, hakikat bahasa adalah bahasa penutur (lisan). Ia didengar bukan ditulis dan dilihat. Selain untuk komunikasi, bahasa merupakan ekspresi dari sikap, pikiran, dan gagasan yang dimiliki seseorang. Dalam keseharian, kemampuan bahasa ditentukan oleh penggunaan, makna, simbol, dan komunikasi. Bahasa, kata Ahmad Mulyana, adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis. Karenanya bahasa bisa dijaadikan alat komunikasi. Bahasa merupakan tanda yang merepresentasikan kekuasaan, gaya hidup, cara berpikir, dan sebagainya.

Seperti dipaparkan di atas komunikasi bukan hanya proses penyampaian pesan, tetapi juga pertukaran simbol yang kemudian membentuk makna. Makna terjadi karena ada tanda. Ada tiga jenis makna dalam sebuah proses komunikasi, yaitu makna sipenutur, makna bagi sipendengar, dan makna tanda (sign meaning) yang melekat pada tanda itu sendiri. Makna ketiga merujuk pada sifat yang inherent pada tanda tersebut sehingga diketahui apakah penggunaan kata dan gagasan tersebut tepat atau tidak. Oleh sebab itu, menurut Arthur Asa Berger, makna bersifat relasional. Segala sesuatu akan bermakna jika memiliki hubungan dengan jenis yang dilekatkannya. Hubungan tersebut bisa tersurat (jelas) atau tersirat (tersembunyi). Makna adalah hubungan sosial yang dibangun oleh sinyal diantara sang emisor dan resektor ketika tindakan semik sedang berlangsung.

Dengan demikian, makna timbul karena ada interaksi antara satu orang atau lebih dalam konteks tertentu melalui berbagai medium. Salah satu bentuk interaksi adalah melalui bahasa tulisan dalam media cetak yang dikenal dengan nama berita. Berita yang semula merupakan fakta yang dirangkai secara pribadi dalam institusi media karena di publikasikan melalui media cetak ia menimbulkan makna bagi orang lain. Oleh sebab itu, bahasa dalam bentuk berita tidak bisa bebas dari nilai. Ia di konstruksi dan mengkonstruksi makna-makna tertentu, tergantung dari orang yang membuat dan membacanya.

J.S. Badudu seperti dikutip Eriyanto secara komprehensif mendefinisikan wacana dalam dua bentuk, pertama sebagai rentetan kalimat yang saling berkaitan. Wacana menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain sehingga membentuk kesatuan struktur sehingga ada keserasian diantara kalimat-kalimat tersebut. Kedua wacana sebagai kesatuan bahasa yang tertinggi dan terlengkap. Ia berada diatas klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkeseimbangan. Ia memiliki awal dan akhir nyata yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan.

Ada tiga strategi yang digunakan membuat wacana, yaitu, signing, framing, dan priming. Signing adalah penggunaan tanda-tanda bahasa, baik verbal maupun nonverbal. Framing adalah pemilihan wacana berdasarkan pemihakan dalam berbagai aspek wacana. Sedangkan priming berarti mengatur ruang atau waktu untuk mempublikasikan wacana dihadapan khalayak.

Representasi Makna Media
Dalam pandangan Judi Giles dan Tim Middleon, represent mempunyai tiga pengertian, yakni, to stand in for (melambungkan), to speak or act on behalf of (berbicara atas nama seseorang), dan to re-present (menghadirkan kembali peristiwa yang sudah terjadi). Representasi merupakan sebuah tanda yang tidak sama dengan yang sebenarnya. Hanya saja ia ditautkan melalui realitas yang menjadi referensinya.

Kata representasi menurut Graeme Burton memiliki definisi yang simpel dan menyeluruh. Definisi sederhana menyangkut stereotip, sedangkan versi yang menyeluruh berkaitan dengan sisi media yang tampak dari teknologi. Sedangkan Marcel Denasi memberi definisi representasi yang sangat lengkap. Menurutnya representasi sebagai penggunaan tanda (gambar, bunyi dan sebagainya) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret, dan memproduksi sesuatu yang dilihat, diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu.

Pengertian representasi nyaris sama dengan pencitraan, yaitu proses pembentukan citra melalui proses yang diterima oleh khalayak, baik secara langsung maupun melalui media sosial atau media massa. Pencitraan berkaitan dengan empat hal, yaitu (1) representasi dimana citra merupakan cermin realitas, (2) ideologi dimana citra menyembunyikan dan memberi gambaran yang salah tentang realitas, (3) citra menyembunyi bahwa tidak ada realitas, dan (4) citra tidak memiliki sama sekali hubungan dengan relitas apapun.

Representasi menurut Graeme Burton sangat ideologis. Sebab makna-makna tersebut berkaitan dengan (1) siapa yang memiliki kekuasaan dan siapa yang tidak, (2) bagaimana kekuasaan diterapkan, (3) nilai-nilai yang mendominasi cara berfikir tentang masyarakat dan hubungan sosial. Secara singkat, Burton menjelaskan ideologi mendefinisikan sistem representasi. Tindakan representasi menjadi perwujudan hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Karena itu representasi menjadi ungkapan ideologi serta ungkapan wacana, dan tersebut terutama menyangkut kekuasaan.

Seperti dipaparkan di atas komunikasi bukan hanya proses penyampaian pesan, tetapi juga pertukaran simbol yang kemudian membentuk makna. Makna terjadi karena ada tanda. Ada tiga jenis makna dalam sebuah proses komunikasi. Yaitu, makna sipenutur, makna bagi sipendengar, dan makna tanda (sign meaning) yang melekat pada tanda itu sendiri. Makna ketiga merujuk pada sifat yang inherent pada tanda tersebut, sehingga diketahui apakah penggunaan kata dan gagasan tersebut tepat atau tidak. Menurut Arthur Asa Berger, makna itu bersifat relasional. Segala sesuatu akan bermakna jika memiliki hubungan dengan jenis yang dilekatkannya. Hubungan tersebut bisa tersurat (jelas) atau tersirat (tersembunyi). Makna adalah hubungan sosial yang dibangun oleh sinyal diantara sang emisor dan reseptor ketika tindakan semik sedang berlangsung.

Jurnalisme Online
Media yang diyakini muncul pertama kali pada era Julius Cesar. Saat itu ada dua media massa, yaitu, Acta Diurna dan Acta Senatus. Acta Diurna adalah pengumuman dari agenda dan kegiatan kerajaan. Saat ini populer dengan lembaga ekskutif. Sedangkan Acta Senatus merupakan catatan harian tentang agenda dan kegiatan senat atau setara dengan dewan perwakilan rakyat saat ini.

Beberapa karakteristik media/jurnalisme online, anatara lain:
1. Unlimited space. Jurnalistik online memungkinkan halaman tak terbatas. Ruang bukan masalah. Artikel dan berita bisa sepanjang dan selengkap mungkin, tanpa batas.
2. Audiens Control. Jurnalistik online memungkinkan pembaca lebih leluasa memilih berita/informasi.
3. Non-Lienarity. Dalam jurnalistik online masing-masing berita berdiri sendiri, sehingga pembaca tidak harus emmbaca secara berurutan.
4. Stronge and retrieval. Jusnalistik online memungkinkan berita “abadi”, tersimpan, dan bisa di akses kembali dengan mudah kapan dan dimana saja.
5. Immediacy. Jurnalistik online menjadikan informasi bisa disampaikan secara sangat cepat dan langsun.
6. Multimedia capabelity. Jurnalistik online memungkinkan sajian berita berupa teks, suara, gambar, video, dan komponen lainnya sekaligus.
7. Interactivity. Jurnalistik onloine memungkinkan interkasi langsung antara redaksi dengan pembaca, seperti melalui kolom komentar dan social media sharing.

Mitos Jurnalisme sebagai Pilar Keempat Demokrasi
Di era modern dengan kapitalisme sebagai urat nadi, media dan politik bertemu dengan faktor bisnis. Dengan tuntutan kapitalisme media berubah menjadi industri, menjadi perusahaan yang berorientasi pada keuntungan. Ia bukan lembaga sosial sebagai mana fungsi dasarnya, yakni, menyampaikan berita. Maka lengkaplahn penderitaan pers Indonesia ketika media bersinergi dengan bisnis dan politik. Berita sebagai jantung jurnalisme kehilangan substansinya.
Media hanya bisa menjadi pilar ke empat demokrasi jika mengambil jarak dan independen dengan tiga jenis kekuasaan yang terdapat pada lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Keberjarakan dengan politik, ekonomi, dan bisnis serta pemegang kekuasaan akan membuat media berani bersikap kritis. Sebaliknya, jika dalam satu naungan kekuasaan, ungkapan Lord Acton ‘power teends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely’ (kekuasaan itu cenderung berbuat korup, kekuasaan yang absolut dengan sendirinya pastilah korup) menemukan kebenarannya.

Pers menjadi mitos ketika pers kehilangan makna denotatifnya, yaitu sebagai penyampai informasi dan author makna bagi khalayak. Pers menjadi mitos ketika ia berada di wilayah konotatif. Pers yang berfungsi sebagai penopang kekuasaan, penghasil bisnis, dan pemuas sahwat politik adalah pers dalam wujud mitos. Ia bukan lagi sebagai pilar ke empat demokrasi tetapi pers sebagai penghancur demokrasi.

Teks dan Wacana Perspektif Teori Kritis
Ada tiga kunci yang menjadi konsentrasi dalam penelitian ini. Yaitu, teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa. Teks bukan hanya yang ada di atas kertas. Ia ekpresi semua bentuk komunikasi. Teks meliputi gambar, suara, citra, gambar, efek, dan sebagainya. Konteks berarti memasukan semua sutuasi dan kondisi yang berbeda diluar teks. Ia adalah komisi yang membentuk teks, baik produksi maupun konsumsinya. Wacana adalah makna dari teks dan konteks secara bersama.
Saat ini, analisis wacana krisis menjadi primadona dalam penelitian teks (media khususnya). Analisis wacana model ini berupaya membongkar maksud tersembunyi dalam satu pertanyaan. Doktrin paling fundamental analisis wacana krisis adalah wanaca tidak dipahami semata-mata sebagai objek studi bahasa. Ia merupakan alat dan praktik kekuasaan. Menurut fairclough dan wodok, praktik wacana bisa menampilkan efek ideologis dalam memperoduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas. Pendekatannya berawal dari Marxist. 

Beberapa karakteristik analisis wacana kritis adalah :
1. Tindakan. Wacana di pahami sebagai tindakan yaitu mengasosialisasikan wacana sebagai bentuk interaksi.
2. Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari sebuah wacana.
3. Historis, menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu sehingga tidak dapat di mengerti jika tanpa konteks.
4. Kekuasaan. Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan.
5. Ideologi adalah salah satu konsep sentral dalam analisis wacana kritis karena setiap bentuk teks, percakapan dan sebagainya adalah praktik ideologi atau efek ideologi.

Sementara itu, analisis wacana kritis berkembang menjadi bebrapa varian. Hal ini sesuai dengan pendekatan yang dilakukan para penelitinya. Antara lain, pertama, analisis bahasa kritis (critical languistics), analisis wacana pendekatan perancis (french discource analysis), kognisi sosial (social cognitive approach), pendekatan perubahan sosial (sosiocultural change analysis), dan pendekatan wacana sejarah (discource historical approaches).

Semiotika Roland Barthes
Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Di muka bumi, semuanya bisa menjadi tanda. Tanda terbagi dua, yaitu tanda verbal dan nonverbal : alami dan buatan. Segala susuatu yang bisa diamati dan dibuat serta mengacu pada susatu yang dirujuk dan dapatn diinterpretasikan adalah tanda. Contoh tanda antara lain, bendera, isyarat, wajah, latak tertentu bintang, sikap, perangko terbalik, bunga, rambut uban, diam membisu, gagap, meludah, intensitas, kecepatan, kesabaran, dan kegilaan.
Menurut Winfried Noth tanda (sign) berfungsi membangkitkan makna. Makna timbul karena ada pertemuan antara penanda (signifier) dan pertanda (signified). Juga makna timbul karena tanda selalu dapat dipersepsi oleh perasaan (sense) dan pikiran (reason). Dengan menggunakan akal sehatnya, sesorang biasanya menghubungkan sebuah tanda pada rujukannya (reference) untuk menemukan makna tanda itu.

Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda) dalam subuah tanda terhadap kualitas eksternal. Barthes menyebutkan dengan denotasi atau makna yang nyata dari tanda. Sedangkan konotasi adalah istilah Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal tersebut menggambarkan interaksi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi pembaca dan nilai-nilai sosialnya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau intersubjektif. Denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja emlalui mitos. Mitos adalah bagaimana kebudayaan memahami aspek tentang realitas atau gejala alam. Keseluruhan tanda dalam denotasi berfungsi sebagai penanda pada konotasi atau mitos. Aspek subjektif berkaitan dengan kemampuan artistik dan daya kreatifitas yang dibentuk oleh kebudayaan, mitos, kepercayaan, ideologi atau ketidak sadaran itu sendiri.

Mitos dan Ideologi
Mitos secara etimologi adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of spech). Selanjutnya, mitos adalah susatu untuk memahami mitos sebagai suatu objek, konsep atau gagasan ; mitos merupakan mode pertandaan (a mode of signification), suatu bentuk (a form). Pemahaman lain tentang sudut pandang berkaitan dengan pandangan intelektual dan kritis yang diambil berkaitan dengan materi dia ialah representasi. Mitos menurut substansinya merupakan hal yang menyesatkan, karena mitos adalah semacam wicara, segalanya dalam menjadi mitos hal itu disampaikan lewat wacana (discourse). Artinya mitos tidak didefinisikan dan di klaim oleh objek pesannya melainkan didefinisikan oleh cara menyampaian pesan. Wicara dalam jenis ini adalah suatu pesan. Dengan demiukian hal ini tidak terbatas pada sevara lisan. Wicara dapat merupakan bentuk-bentuk tulisan atau penggambaran, bukan hanya wacana tertulis, tetapi juga fotografi, film, laporan, olahraga, pertunjukan, publisitas.

Menurut Barthes dalam Stephen Heath (2010:171), mitos kontemporer menunjukan pada beberapa pendapat ilmuan. Antara lain :
1. Mitos nyaris sama dengan istilah representasi kolektif yang diajukan Emile Durkheim. Ia muncul dalam bentuk ujaran-ujaran anonim dalam media massa, dunia periklanan dan apa saja yang dikonsumsi massa. Mitos adalah susatu yang dideterminasi oleh wacana sosial, ia merupakan refleksi.
2. Dalam pandangan Karl Marx, mitos terjadi ketika kultur dijungkirbalikan menjadi natural atau sebaliknya ketika kualitas sosial, kultural, ideologis, dan historis berbalik menjadi natural.
3. Mitos kontemporer bersifat diskontinue. Mitos ini tidak lagi hadir dalam bentuk narasi-narasi panjang dengan format baku, tetapi hanya dalam bentuk wacana.
4. Karena merupakan bentuk ujaran, mitos kontemporer masuk dalam cakupan semiotika dengan sistem semantiknya, makna denotatif dan konotatif.
5. Barthes membagi lima kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu teks, yakni:
a. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Kode ini untuk menemukan akhir dari teka-teki dan penyelesaiannya didalam cerita.
b. Kode semantik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, membaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.
c. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dan beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara.
d. Kode proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif.
e. Kode genomik atau kode kultural banyak jumlahnya kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodefikasi oleh budaya menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh apa yang telah diketahui.

Jurnalisme Sebagai Mitos

Liputan6.com

50 Buku Jihad dari Teroris Ciputat Diserahkan ke Komnas HAM

Dalam berita ini tidak jelas apa yang dimaksud dengan teroris? Apa itu jihad? Apa itu tadzkirah? Tidak ada penjelasan yang cukup. Pembaca hanya tahu bahwa polisi menyita 50 buku berisi ajaran jihad dari penggerebekan terduga teroris di rumah kontrakan di Jalan H. Dewantoro Gang H. Hasan, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Dalam penggerebekan tersebut, enam terduga teroris tewas dalam baku tembak dengan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
Wartawan yang megikuti konferensi pers tidak kritis dengan ketidakjelasan terminologi teroris, jihad, dan tadzkirah. Seharusnya wartawan harus bertanya, skeptis, atau bahkan ragu dengan keterangan kepolisian tersebut sehingga ia berusaha mencari tahu fakta tentang tiga istilah tersebut.

Merdeka.com
Cerai dari Brad Pitt, Begini Perasaan Jennifer Aniston

Frasa “Begini Perasaan” dalam judul berita ini mengandung pengertian hasil atau perbuatan merasa dengan pancaindra, rasa atau keadaan batin sewaktu menghadapi (merasai) sesuatu atau kesanggupan untuk merasa atau merasai, dan pertimbangan batin (hati) atau sesuatu. Bagaimana mungkin perasaan bisa diverifikasi? Berita ini dengan sendirinya tidak faktual.
Media kini sudah terseret memberitakan sesuatu yang bersifat pribadi dan tidak ada kepentingannya untuk publik. Cerai, selingkuh, dan kawin misalnya. Media massa adalah ranah publik, ceria, selingkuh dan kawin adalah urusan probadi.

Metrotvnews.com
Densus Tangkap Teroris di Banyuwangi

Kelemahan paling nyata dari berita berjudul “Densus Tangkap Teroris di Banyuwangi” adalah tidak ada verifikasi fakta. Seperti yang telah disebutkan di atas, menurut Bill Kovach dan Tom Rosentiels disipli dalam verifikasi fakta adalah jantung jurnalisme. Ada lima item indikator dalam verifikasi fakta, yaitu (1) wartawan juga menambah atau mengarang apapun, (2) jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsan, maupun pendengar, (3) bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi, bersadarlah terutama pada reportase sendiri, dan (5) berikaplah rendah hati.

Vivanews.co.id
Diam-diam Naikkan Harga Elpiji 12 Kg, Ini Alasan Pertamina

Pemberian judul “Diam-diam” dalam berita tersebut tidak menunjukan yang sebenarnya. “Diam-diam” berarti dilakukan dengan tanpa pemberitahuan. Dalam judul yang dipakai dalam berita ini diasumsikan wartawan turun ke lapangan untuk mencari dan menemukan data tentang kenaikan harga elpiji 12 Kg yang secara diam-diam dilakukan Pertamina. Ternyata tidak ada usaha yang mencerminkan kenaikan harga diam-diam. Ternyata kedua wartawan tersebut hanya melakukan kontak melalui telepon seluler bukan berdasarkan pencarian ke lapangan.

Beritasatu.com
Ditanya Soal Bunda Putri, Dipo Alam Sinisi Elite PKS

Elite itu kelompok bukan personal. Ketika berita menyebut elite PKS hanya pada Luthfie Hasan Ishaak. Penyebutan elite sebagai mitos dari sekelompok PKS yang mengenal Bunda Putri. Dalam berita ini elite menjadi mitos untuk menggambarkan atau mendeskriditkan PKS sebagai partai yang memiliki petingginya korup.
Karena menjadi narasumber tunggal dalam berita ini, semua yang ditulis dari satu versi. Konotasinya, semua yang dikatakan narasumber dalam berita ini sebagai kebenaran. Dengan beragam atribut yang disebutkan di muka meneguhkan foto ini memiliki mitos sebagai penguasa kebenaran dalam berita ini.

Detik.com
AirAsia Ditemukan
Dugaan Terkuat, Mesin AirAsia QZ8501 Mati Lalu Menghujam ke Laut

Makna denotatif dar judul “Dugaan Terkuat” adalah hasil dari perbuatan menduga, sangkaan: perkiraan dan atau taksiran. Makna konotatifnya adalah tidak terkuat adalah kata superlatif dari sebuah komparatif /perbandingan. Ia menjadi sesuatu yang paling di antara yang lain. Tetapi dalam berita ini tidak ada yang menunjukan bahwa mesin mati sebagai yang terkuat karena tidak ada penyebab lain yang dibandingkan. Dugaan terkuat menjadi mitos karena menjadi anggapan tanpa fakta dan verifikasi.

Anggapan kian kuat karena ada kata “dugaan” di depan kata “terkuat”. Mitos adalah anggapan. Wajar jika berita ini adalah sebuah mitos daripada sebuah fakta tentang penyebab hilangnya pesawat AirAsia QZ8501.

Tempo.co
Serang SBY, Anas Pertanyakan Surat Dukungan

Makna denotatif dari kata “Serang SBY” dalam judul berita ini memiliki pengertian mendatangi untuk melawan (melukai, memerangi, dsb); menyerbu; melanda; melanggar; menimpa; atau menentang (seperti melancarkan kritik), atau menolak hujan; menangkal. Tetapi dalam keseluruhan teks beritanya tidak ada satu pun kata yang menegaskan Anas menyerang Susilo Bambang Yudhoyono.

Okezone.com
Premium Turun, Diam-diam Pertamina Naikkan Elpiji 12 Kg

Dengan demikian, makna denotatif “Diam-diam” tidak ada dalam berita tersebut. Justru dari judul berita tersebutlah munculnya makna konotatif yang kemudian memunculkan mitos versi Roland Barthes. Baik berita vivanews.co.id maupun okezone.com memunculkan sebuah mitos dalam jurnalistik. Mitos yang timbul dari ketidakakuratan dalam menulis fakta.

Inilah.com
Tim Sembilan Rusak PSSI, Menpora Harus Mundur

Berita ini benar-benar ingin menunjukkan Kementerian Pemuda dan Olahraga salah. Penggunaan kata rusak di judul berita adalah buktinya. Makna denotatif dari rusak adalah sudah tidak sempurna, luka-luka; bercalar-calar; calar balar, busuk, tidak dapat berjalan lagi (untuk mobil, mesin), tidak beraturan lagi (untuk bahasa, adat), tidak utuh lagi (perkawinan), Terganggu (ingatannya), dan hancur; binasa atau tidak baik.

Republika.co.id
‘Innaalillahi wa innaa ilaihi rojiun, Pilkada Melalui DPRD’

Penggunaan kata ‘Innaalillahi wa innaa ilaihi rojiun’ terlalu berlebihan untuk sesuatu yang masih menjadi perdebatan seperti pemilihan kepala daerah. Kata ‘innaalillahi wa innaa ilaihi rojiun’, untuk menunjukkan kepastian seperti halnya ajaran agama yang mutlak dan mengandung kepastian. Orang islam yang mendapat atau mendengar musibah harus mengatakan ‘innaalillahi wa innaa ilaihi rojiun’. Tetapi penggunaan untuk polemik pemilihan langsung adalah mitos Republika sebagai media yang mengklaim milik umat Islam.

Antaranews.com
Pejuang Kurdi Tewaskan 24 Anggota ISIS di Kobane

Makna konotatif dari kata “pejuang” adalah mitos karena pada waktu yang bersamaan seolah-olah anggota ISIS bukan pejuang, tetapi lawan dari pejuang, yaitu pemberontak. Media ini hanya memastikan jumlah yang tewas adalah 24 orang dengan tanpa menyebutkan ciri dan karakter yang tewas. Pengambilam berita dari sumber berita asing tanpa verifikasi yang jelas akan membahayakan.

Kompas.com
SBY dan Ibas Disebut Dalang di Balik Pilkada Melalui DPRD

Makna denotatif tulisan ini ingin menegaskan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono dan Edhi Baskoro (Ibas) sebagai orang yang mengatur semua drama yang ada di perdebatan UU Pilkada melalui DPRD.

Seperti makna aslinya, dalang adalah penentu segala pertunjukkan. Makna konotatif yang disediakan media ini adalah ingin menunjukan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ibas (Edhi Baskoro Yudhoyono) sebagai pengatur semua aksi walk out Fraksi Demokrat dalam rapat paripurna DPR yang mengesahkan UU Pilkada Tidak Langsung. UU ini mengubah aturan sebelumnya yaitu pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat.

CNNIndonesia.com
Keselamatan Penerbangan
Auditor PBB: Penerbangan Indonesia Punya Masalah Kronis

Penggunaan kata auditor PBB situs ini menunjukkan bahwa ungkapan “kronis” adalah sesuatu yang tepat. Apalagi dengan mengutip Ahli Statistik keselamatan penerbangan dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT), Amerika Serikat, Arnold Barnett. Namun jika ditelusuri, penggunaan kata “kronis” kita tidak menemukan verifikasi dalam berita ini. Semuanya hanya klaim dan tuduhan. Di sinilah bahasa menunjukkan kekuasaan (seperti kata Foucoult) PBB dan Amerika lebih berkuasa daripada Indonesia.

Rmol.co
Penerbangan Liar AirAsia QZ8501 Jadi Sorotan Dunia!

Secara makna denotatif penggunaan “penerbangan liar” adalah terlalu berlebihan. Liar secara kamus adalah Tidak ada yang memelihara, tidak (belum) jinak, tidak tenang (tt pandangan mata); buas; ganas, tidak teratur; tidak menurut aturan (hukum), dan belum beradab. Bandingkan dengan makna konotatif “penerbangan liar”. Tidak resmi ditunjuk atau diakui oleh yang berwenang; tanpa izin resmi dari yang berwenang; tidak memiliki izin usaha, mendirikan, atau membangun. Liar seperti makna aslinya tidak bisa atau sulit dikendalikan bahkan tidak memiliki. Penggunaan kata liar menjadi mitos karena berlebihan. Liar tidak berarti seperti makna aslinya tetapi karena adanya yang tidak beres.

Sindonenews.com
Pelantikan Jokowi-JK Hapus Nuansa Kebencian

Penggunaan kata “nuansa kebencian” menjadi mitos yang berangkat dari makna dasarnya. Ketidakpuasaan pasti ada dari sebuah proses politik di belahan manapun, tetapi penggunaan kebencian terlalu diada-adakan. Tidak berpijak pada fakta pascapilpres semua stakeholder bangsa ini aman-aman saja.

Jppn.com
Mbah Mijan Kirim “Pasukan” Ikut Mencari Korban AirAsia

Judul “pasukan lain” menandaskan pengertian lain. Menggunakan tanda kutip dalam kalimat itu menunjukkan bukan sesuatu yang sebenarnya. Artinya, pasukan lain, bukan berarti pasukan dalam pengertian manusia. Ia merujuk pada pasukan nonmanusia atau ghaib sebagaimana layaknya keahlian paranormal (Mbah Mijan).

Berita jatim.com
(https://m.beritajatim.com/peristiwa/227278/paranormal:_dalam_waktu_dekat_penumpang_qz-8501_segera_ditemukan.html#.VKplGsn_G1s)

Apa jadinya jika jurnalisme yang berbasis data dan fakta menyajikan sesuatu yang metafisik (tidak faktual)? Secara sederhana jurnalistik seperti itu sudah runtuh dengan sendirinya. Ia bukan jurnalistik. Sesuatu yang gaib (tidak ada) dalam pendekatan rasionalitas tidak bisa difaktakan. Penyebutan paranormal dan kekuatan gaib menunjukan pada sesuatu yang tidak bisa diverifikasi secara jurnalistik. Jadi tidak ada makna denotatifnya. Justru yang muncul adalah makna konotatifnya atau mitos tradisional. Meskipun demikian mitos yang paling kuat menurut Barthez adalah yang terletak pada makna denotasinya.

Tribunnews.com
Kecelakaan Pesawat Air Asia QZ8501
Paranormal Ini Sebut Tiga Kekuatan Gaib Belitung Bisa Cari Air Asia

Apa jadinya jika jurnalisme yang berbasis data dan fakta menyajikan sesuatu yang metafisik (tidak faktual)?. Secara sederhana jurnalistik seperti itu sudah runtuh dengan sendirinya. Ia bukan jurnalistik. Sesuatu yang gaib (tidak ada) dalam pendekatan rasionalitas tidak bisa difaktakan. Penyebutan paranormal dan kekuatan gaib menunjukan pada sesuatu yang tidak bisa diverifikasi secara jurnalistik. Jadi tidak ada makna denotatifnya. Justru yang muncul adalah makna konotatif atau mitos tradisional. Meskipun demikian mitos yang paling kuat menurut Barthez adalah yang terletak pada makna denotasinya.

Hasil Penelitian
Objek yang diteliti adalah teks dan foto berita di 18 media online yang diambil secara acak, baik media maupun tema berita yang diangkatnya. Berdasarkan hasil penelitian pada 18 berita di media online itu, ada beberapa temuan penelitian, antara lain:

 Banyak penggunaan bahasa dan istilah asing
Hal yang tak kalah pentingnya adalah penggunaan bahasa asing sebagai pengaruh budaya populer biar disebut keren. Diaku atau tidak, bahasa keseharian wartawan sangat berpengaruh pada penggunaan bahasa tulisan. Celakanya, bahasa, termasuk singkatan, keseharian wartawan menjadi bahasa yang disajikanke pembaca. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh kepada kualitas berita yang disajikan.

 Narasumber tunggal dan tidak kompeten
Narasumber adalah elemen terpenting dari sebuah karya jurnalisme. Wartawan tidak mungkin mengetahui secara pasti suatu peristiwa. Ia pasti mengandalkan tangan orang lain yang bernama narasumber. Ketika narasumber tunggal, kian jauh dari kebenaran. Sedangkan narasumber tidak kompeten bukan saja menjauh dari kebenaran tetapi menjurus ke arah kesalahan dan kesesatan. Dengan narasumber tunggal dan tidak kompeten, jurnalisme bukan saja menjadi sebuah karya tidak bermutu tetapi ia juga berbahaya.

 Penuh prasangka dan tidak ada verifikasi fakta
Kejujuran yang utama dari sebuah karya jurnalistik sedangkan verifikasi fakta, yang menurut Bill Kovach dan Tim Rosentiel adalah jantung jurnalisme. Jika kejujuran dan verifikasi fakta sudah hilang dari sebuah karya jurnalistik, bisa dipastikan berita itu tidak memiliki orientasi dan bertujuan untuk kebenaran. Ia jadi cenderung fitnah dan prasangka. 

 Nilai Kesejatian Pers
Pers adalah subsistem dari sebuah sistem pemerintah. Kelangsungan hidup pers bergantung pada sistem politik yang berjalan saat itu. Pers adalah lembaga independen yang tidak memihak kepada salah satu golongan ataupun pemerintah, tetapi berpihak kepada kebenaran informasi berupa fakta yang disampaikannya kepada masyarakat.

 Objektivitas versus subjektivitas media
Secara historis, pers ideal yang menjadi pilar keempat demokrasi yang objektif, netral dan nonpartisipan tak pernah terjadi di negeri ini. Ia pernah dijadikan alat melawan penjajah sebelum Indonesia merdeka, menjadi alat partai politik ketika demokrasi liberal, tangan kekuasaan pada masa Orde Baru, dan kooptasi modal di era reformasi. Dengan kata lain, pers di negri ini selalu berpihak dalam wujud apa saja. Dengan kondisi tersebut, wartawan tidak memiliki independensi untuk menetukan kebijakan media, sehingga ada jarak antara berita sebagai produk jurnalistik dengan profesionalismenya. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER