Jakarta, CNN Indonesia -- Kalimat yang hampir sering diucapkan jika seseorang diajak untuk menonton film Indonesia di bioskop: “Ah ngapain, males. Pasti ceritanya enggak mutu.” Sering sekali begitu.
Di pikiran mereka memang film Indonesia masih memiliki citra yang negatif. Cerita film Indonesia yang terkadang tak masuk akal dan terkesan murahan, membuat masyarakat mempunyai stereotip tersendiri.
Mereka cenderung malas untuk menonton film Indonesia terutama di bioskop. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, film Indonesia itu tak layak tayang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika kita lihat beberapa tahun ke belakang, memang film Indonesia hanya mengangkat tema yang itu-itu saja. Entah horor yang aneh atau pun cerita drama cinta ala FTV.
Film Indonesia mengalami penurunan dalam hal kualitas karena jika melihat kuantitasnya bisa dibilang meningkat cukup pesat. Penurunan kualitas ini pun makin diperburuk dengan adanya UU No.30 tentang Perfilman.
UU ini masih punya banyak masalah. Tidak adanya landasan hukum yang kuat dan kekuatannya pun tidak jelas, malah membuat banyak masalah baru.
Banyak pihak yang merasa bahwa adanya UU No.30 ini malah merugikan dan mempersulit, baik pembuat film mau pun penikmat film sendiri. Coba saja tengok landasan hukum yang seharusnya mendampingi yaitu Peraturan Menteri.
Sejak awal dibuat sampai sekarang, belum ada Permen yang mengatur dan mendampingi. Itu tentu saja merupakan sebuah kekurangan tersendiri.
Lalu peraturan yang menjelaskan tentang adanya kuota 60 persen dan 40 persen bagi film lokal dan impor. Seharusnya peraturan ini bisa membantu film lokal dengan setidaknya membuat mereka mempunyai penonton. Namun pada kenyataannya tidak.
Pihak bioskop malah mengakali peraturan ini dengan begitu lihai. Karena bunyi peraturan ini hanya mengatakan bahwa yang harus dipenuhi adalah kuota jam tayang, maka setelah kuota tersebut terpenuhi maka film lokal akan ditarik begitu saja.
Film yang disajikan pun asal-asalan judulnya. Malah yang sama sekali tidak jelas jalan ceritanya seperti apa.
Jangan lupakan tentang penyebutan kata-kata “film bermutu” yang menjadi indikator layak atau tidaknya sebuah film bisa tayang di bioskop. Pertanyaannya adalah, film yang seperti apakah yang bermutu itu? Siapa yang berhak menentukan sebuah film bermutu atau tidak? Apakah ada sebuah badan khusus yang bertugas mengukur dan menentukan sebuah film bermutu atau tidak?
Atau memang ada skala khusus tertentu yang harus dipenuhi pembuat film agar filmnya bisa dikatakan bermutu? Jadi siapa yang bisa menentukan hal itu? Apakah penonton, lembaga tertentu, ataukah pembuat film sendiri. Itu yang membuat saya bingung.
Karena tentu saja di industri film kita ini tidak ada lembaga khusus seperti itu. Bahkan Badan Perfilman Indonesia saja tak sekuat yang seharusnya. Ironis memang.
Adanya berbagai masalah yang mengiringi UU tersebut, apakah pemerintah yakin masih mau memberlakukan UU ini tanpa melakukan revisi? Atau bahkan mengapa tidak menghapusnya saja sekalian?
Toh banyak negara dunia yang industri film lokalnya sukses tanpa UU seperti ini. Sebut saja Korea Selatan, India, Amerika Serikat. Seharusnya yang dibenahi bukanlah dari pemerintah. Namun lebih ke industri filmnya sendiri.
Tentu saja begitu. Toh mereka yang berkecimpung langsung dan memberikan produk langsung pada pemirsa. Mereka sering mengeluh dengan banyaknya pembajakan dan kurangnya penonton di bioskop.
Tapi mereka tak melihat apa penyebabnya. Mereka tak sadar bahwa kualitas mereka asal-asalan. Penonton juga sadar dan berpikir jika mereka menonton film Indonesia di bioskop sekarang, toh filmnya pasti akan muncul di televisi beberapa bulan kemudian. Jadi untuk apa menonton film di bioskop?
Kreativitas merupakan sebuah hal yang mutlak ada di industri film. Namun memang kreativitas pembuat film Indonesia bisa dibilang masih statis. Apa yang mereka buat itu-itu saja. Drama romantis komedi yang inti dan premis ceritanya sama. Hanya kemasannya saja yang berbeda.
Bagaimana penonton tidak mau bosan? Dan mereka menyalahkan penonton karena tingkat penjualannya menurun? Yang salah sebenarnya siapa? Siapa orang yang ingin menonton film asal-asalan?
Benahi kualitas mereka dan tingkatkan kreativitas. Ambillah tema yang unik namun kekinian dan dekat dengan kehidupan Indonesia. Angkatlah isu sehari-hari. Namun tingkatkan dalam hal eksekusi dengan memaksimalkan teknis dan kekuatan cerita secara mendasar.
Sebuah film seharusnya menjadi media yang luar biasa menarik bagi para penikmatnya. Apalagi bagi orang lokalnya sendiri.
Jika kita bisa seperti India yang bahkan mampu menahan film Hollywood untuk tidak masuk dulu karena film Shahrukh Khan sedang tayang, itulah saat di mana kita sudah berjaya dan berhasil memberikan suatu hasil yang luar biasa bagi penikmat kita sendiri. Karena film tak seharusnya murahan, karena film adalah media yang mahal dan mewah dan seharusnya menjadi tonggak penting suatu negara baik dalam segi kebudayaan, ekonomi, sosial, maupun politiknya.
(ded/ded)