Jakarta, CNN Indonesia -- Program Orientasi untuk siswa baru se-Indonesia telah memasuki babak baru dengan format MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Program yang sebelumnya disebut MOS ini bertransformasi dalam berbagai aspek, baik content maupun teknis penyelenggaraan. Hal tersebut menimbulkan pro-kontra di beberapa pihak yang memang berkecimpung dalam penyelenggaraan program tersebut di tiap tahunnya.
Mayoritas publik menyambut baik transformasi program MOS ke MPLS, karena penegasan isi program ditentukan secara komando dari level Kementrian hingga unit terkecil pendidikan, yaitu Sekolah. Hal tersebut tertuang di Permendikbud no 18 tahun 2016 mengenai MPLS beserta lampiran teknisnya. Lampiran teknis begitu lengkap dari aspek materi hingga hukuman bagi pihak-pihak yang tidak menjalankan MPLS berdasarkan aturan ini. Dikeluarkannya Permendikbud tersebut bertujuan untuk menjaga esensi utama dari MPLS berjalan sesuai harapan dan target dari pemerintah, dan meminimalisir MPLS yang bercorak “perploncoan’.
Sikap dari Pengurus OSIS se-Indonesia terbelah menjadi dua, di satu sisi bersikap pro dan di sisi lainnya bersikap kontra. OSIS bersikap pro karena muatan MPLS mewadahi para siswa/i baru untuk bisa beradaptasi di sekolah secara cepat, menyenangkan, edukatif, dan dibekali tips-tips belajar efektif, serta yang paling penting adalah jauh dari kesan “Pembodohan” dan “Perploncoan”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun OSIS pun bersikap kontra terhadap salah satu point di kebijakan Permendikbud tersebut. Sikap kontra tersebut tertuju kepada perspektif Kemendikbud yang memukul rata bahwa unsur perploncoan melekat pada OSIS se-Indonesia sehingga program MOS/MPLS yang diselenggarakan oleh institusi tersebut pasti akan menghasilkan program yang identik perploncoan. Atas dasar inilah peran OSIS di MPLS dihapuskan. Padahal banyak OSIS di sekolah-sekolah tertentu mampu berkarya secara kreatif dalam program MOS sehingga jauh dari kesan perploncoan, dan kental dengan nuansa edukatif. OSIS-OSIS seperti inilah yang harus diduplikasi semangat dan integritasnya oleh Pemerintah, bukan bersikap sebaliknya dengan membredel peran OSIS karena kecerobohan rekan OSIS di sekolah lainnya. Bukankah tugasnya pemerintah mengawal dan membina, bukan “cuci tangan”?
Permendikbud no. 18 tahun 2016 juga berdampak kepada citra baik OSIS yang tergerus oleh beberapa pemberitaan media yang mengidentikkan penyelenggaraan MPLS oleh OSIS sama dengan Perploncoan. Efek samping dari dikeluarkannya Permendikbud tersebut adalah penihilan kerja keras pembentukan kepemimpinan di level siswa. Jika pemerintah dan media bersama-sama mendeskreditkan dan tidak percaya kepada OSIS, maka kepada siapakah generasi masa depan Indonesia dititipkan?
Berdasarkan paparan argumen di atas maka Kami atas nama Aliansi Solidaritas OSIS Sejabodetabek menyatakan sikap:
1. Mendukung MPLS Cerdas dan Anti Bullying
2. Meminta kepada Menteri Pendidikan, Bapak Anies Baswedan untuk mengembalikan kedaulatan peran OSIS dalam penyelenggaraan MPLS di tahun mendatang karena kelalaian-kelalaian OSIS sekolah tertentu di dalam penyelenggaraan MOS di tahun-tahun sebelumnya bukan hanya kesalahan OSIS semata, melainkan kurangnya pengawasan yang ketat dari pihak sekolah. Dengan kata lain, OSIS selalu support konsep MPLS pemerintah kecuali peniadaan peran sentral OSIS di dalamnya.
(ded/ded)