Aku Dijajah Bangsaku Sendiri

Laroyba Unsa Soraya | CNN Indonesia
Rabu, 02 Nov 2016 16:06 WIB
Di era globalisasi ini, semakin banyak orangtua yang mengajarkan anaknya bahasa bilingual sejak dini, khususnya bahasa asing. Apa dampak negatifnya?
Ilustrasi (Foto: robarmstrong2/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia -- Baru saja berlalu, bulan Oktober, yang selalu diperingati sebagai Bulan Bahasa di negara kita. Mengapa Oktober? Karena di bulan inilah Bahasa Indonesia pertama kali dikumandangkan sebagai bahasa nasional dan sekaligus menjadi bahasa pemersatu di tanah air.

Berbicara soal bahasa, saya jadi ingat beberapa waktu lalu mendengar cerita tentang salah seorang teman yang heran adiknya pintar berbahasa Inggris tetapi tidak bisa bahasa Indonesia. Adiknya yang berumur kurang lebih dua tahun itu hapal warna-warna dalam bahasa Inggris. Tetapi ketika ditanya warna kuning, ia menjawab, yellow.

Meskipun sudah diberitahu berkali-kali bahwa itu warna kuning, ia tetap mengatakan yellow. Ternyata, sudah dari lama orangtuanya selalu menyajikan tontonan dalam bahasa Inggris dan hal itulah yang membuat anak tersebut terlalu mengerti bahasa Indonesia. Miris.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di era globalisasi ini, semakin banyak orangtua yang mengajarkan anaknya bahasa bilingual sejak dini, khususnya bahasa asing. Mereka menginginkan anaknya mahir dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.

Banyak cara yang dilakukan orangtua dalam mengajarkan anak mereka, bisa lewat media massa seperti televisi, lewat buku-buku, atau pun orangtua membiasakan diri berbicara dengan anak menggunakan bahasa asing.

Ada sebuah penelitian yang menyatakan bahwa anak di usia 6 hingga 13 tahun adalah periode emas (golden age) bagi para orangtua dan sanak saudara untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang bahasa. Secara biologis waktu yang paling tepat untuk mempelajari bahasa asing adalah usia SD dan SMP.

Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa belajar untuk menguasai dua bahasa ini nantinya akan memberikan dampak pada perkembangan anak tersebut. Anak yang sudah terbiasa dengan bahasa yang bilingual ini biasanya akan lebih sukses dalam kehidupannya karena sudah terbiasa berhubungan dengan lingkungan yang bahasanya berbeda-beda.

Apalagi jika sudah menguasai bahasa internasional seperti bahasa Inggris. Namun, apakah orangtua sadar bahwa lambat laun mereka membuat sang anak melupakan bahasa Indonesia? Bahasa ibu yang seharusnya mereka kuasai lebih dulu dibandingkan bahasa lainnya?

Para orangtua seharusnya bisa lebih mengerti dan menyadari bahwa mereka sedang berada di Indonesia, negara yang menjadi tempat mereka berpijak selama ini. Mengingat peribahasa, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.

Gunakan dan ajarkan anak-anak sesuai dengan tempat mereka dibesarkan, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia penting untuk dipelajari oleh seluruh masyarakat, tidak terkecuali anak sampai orangtua.

Kebanyakan warga negara ini menganggap remeh Bahasa Indonesia. Menganggap bahasa Indonesia tidak perlu dipelajari karena pada kehidupan sehari-hari sudah mereka gunakan. Namun kenyataan berkata lain. Masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak memahami bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Bahkan anak-anak yang notabene belajar dan diajarkan bahasa Indonesia di sekolah, menganggap bahasa Indonesia mudah. Tetapi berujung dengan ketidakpahaman mereka mengenai bahasa ibunya sendiri.

Masyarakat Indonesia saat ini lebih bangga jika mereka bisa memahami bahasa asing dibandingkan bahasa ibu mereka sendiri. Masih banyak anggapan yang beredar bahwa jika mereka menguasai bahasa asing, mereka akan terlihat seperti orang terpelajar dibandingkan orang-orang yang tidak memiliki kemampuan berbahasa asing. Nasionalisme dalam bahasa

Melihat bagaimana penggunaan bahasa Indonesia pada zaman penjajahan, sebelum terjadinya Perang Dunia II, kedudukan bahasa ibu kita ini tidak dihargai dengan pantas pada masa itu. Belanda yang saat itu menjajah Indonesia, melarang seluruh rakyat menggunakan bahasa Indonesia.

Belanda memberikan pendidikan kepada rakyat Indonesia dalam bahasa Belanda. Jika rakyat ingin diakui, disegani, serta dihormati pada masa itu maka mereka harus bisa berbicara dalam bahasa Belanda dengan baik. Alhasil pada masa itu masyarakat lebih memilih untuk menggunakan bahasa Belanda dibandingkan bahasa Indonesia. Mereka tidak peduli dengan bahasa Indonesia dan tidak malu jika tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik.

Namun keadaannya berbalik ketika Belanda pergi dan Jepang datang berganti menjajah Indonesia. Seluruh rakyat diharuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dan dilarang menggunakan bahasa Belanda. Akhirnya dengan dorongan dan paksaan, orang-orang yang awalnya tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik justru semakin lama semakin tertarik dengan bahasa ini.

Bahasa Indonesia akhirnya mulai dihargai dan diperhatikan oleh para penggunanya. Inilah awal mula bahasa Indonesia mulai mengalami perkembangan.

Bahasa Indonesia pun semakin berkembang setelah Indonesia dinyatakan merdeka. Masyarakat mulai sadar bahwa bahasa ini penting karena tanpa adanya bahasa Indonesia maka bangsa ini tidak akan mengalami kemajuan. Minat belajar dan keinginan masyarakat dalam menguasai bahasa Indonesia pun semakin tinggi sehingga pemakaiannya semakin meluas.

Namun sayangnya, lagi-lagi karena era globalisasi yang datang, penggunaan bahasa Indonesia mulai menurun seiring dengan masyarakat yang sering menyisipkan istilah-istilah bahasa asing dalam penggunaan bahasa Indonesia.

Kejadian sejarah yang baru saja diceritakan menjadi contoh bagaimana jika bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu tidak lagi dihargai. Anak-anak yang “dicekoki” dengan bahasa asing ini sama halnya ketika Indonesia dijajah Belanda. Lambat laun anak tersebut akan terbiasa dengan bahasa asing yang telah diajarkan kemudian mulai melupakan bahasa yang seharusnya ia pelajari terlebih dahulu.

Mereka akan lebih bangga terhadap bangsa lain, tempat di mana anak itu mengerti akan bahasa yang digunakan. Mengapa? Karena menurut Marvin dan Mathiot (1956) bahasa memiliki peran yang berkaitan dengan nasionalisme, yaitu fungsi pemersatu (unifying) dan fungsi pemisah (separatist).

Pemersatu dalam arti bahasa ini yang menyatukan bangsanya. Bahasa menjadi alat komunikasi di mana rakyat bisa saling berinteraksi dengan hal yang sama. Lama-lama kelamaan, disatukan dengan unsur yang sama, mereka akan membuat sebuah ikatan yang kuat. Memunculkan perasaan cinta akan negara yang telah menyatukan, sehingga terciptalah nasionalisme.

Bahasa akan memengaruhi nasionalisme bangsanya. Ia akan cinta dengan negaranya jika ia mengerti dan memiliki kesamaan dengan masyarakat lainnya lewat bahasa. Namun jika ia tidak mengerti dan tidak memiliki kesamaan dengan orang lain lewat bahasa yang menjadi perantaranya, maka orang tersebut akan mencari hal lain atau orang lain yang sama dengan dirinya.

Kondisi tersebut sama seperti kasus anak-anak yang sejak kecil diajarkan bahasa asing tanpa menyeimbangkan pendidikan akan bahasa ibunya. Jika terus-menerus seperti ini, maka bisa-bisa anak tersebut akan tumbuh dengan bahasa asing atau bahasa kedua yang ia pelajari sejak kecil. Hal ini bisa berpengaruh dengan bagaimana sosok anak tersebut menghargai bangsa ini, mencintai Indonesia. Jika terhadap bahasa ibunya saja ia tidak paham, bagaimana ia bisa mulai menghargai dan mencintai negara ini? Jangan sampai karena ketidakpahaman masyarakat akan bahasa membuat bahasa Indonesia punah secara perlahan. Saatnya berubah Pemikiran masyarakat Indonesia, terutama generasi muda yang sejak kecilnya ini sudah diajari dengan bahasa asing tanpa menyeimbanginya dengan bahasa ibu, harus diubah.

Indonesia harus menciptakan generasi muda yang cinta akan negaranya, memiliki rasa nasionalisme tinggi dengan cara memahami dan melestarikan bahasa Indonesia. Mungkin seharusnya Indonesia berterimakasih kepada Jepang yang telah membangkitkan bahasa Indonesia dan membuatnya berkembang hingga Indonesia merdeka.

Justru seharusnya kita bisa mencontoh Jepang dan negara maju lainnya yang memiliki nasionalisme tinggi, sangat menghargai bahasa negara masing-masing. Di mana jika kita pergi ke negara mereka, kita harus bisa menggunakan bahasa mereka dan hal itu membuat kita dihargai.

Seharusnya hal itu juga diberlakukan di Indonesia, bukannya kita sebagai tuan rumah ketika berbicara dengan wisatawan asing mengikuti bahasa negara asalnya. Itulah salah satu bentuk pengikisan nasionalisme.

Pendidikan mengenai pentingnya berbahasa pun tidak hanya berlaku pada anak, tetapi juga orangtua. Agar nantinya orangtua bisa mengimbangi pendidikan yang akan diberikan pada anak mengenai bahasa ibu dan bahasa asing. Pemerintah pun perlu mengambil langkah yang signifikan atas berkurangnya minat dan perhatian warga negara ini terhadap bahasa Indonesia.

Sekarang semua bergantung pada kita sebagai masyarakat Indonesia. Jangan biarkan bahasa Indonesia terjajah oleh rakyatnya sendiri. Sudah saatnya bahasa ibu ini lebih dihargai, diperhatikan, serta dilestarikan demi terjaganya bahasa sebagai identitas negara dan pemersatu bangsa. Selamat Bulan Bahasa! * Mahasiswa Prodi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER