Media: Taman Bermain Anak?

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Selasa, 29 Nov 2016 16:51 WIB
Ketika menonton televisi, anak kadang mengabaikan waktu makan, mandi, belajar, dan lain-lain. Padahal mereka butuh aktivitas fisik.
Foto: mojzagrebinfo/Pixabay
Jakarta, CNN Indonesia -- Media saat ini dapat diakses oleh siapa pun. Tidak ada batasan umur tertentu bagi seseorang untuk bisa mengakses media dalam beragam bentuknya, apalagi anak-anak.

Jumlah waktu yang dihabiskan anak untuk mengakses media sangat besar. Media saat ini bisa dikatakan sebagai taman bermain bagi anak. Namun psikolog anak dan remaja Jovita Maria Ferliana beranggapan bahwa media saat ini sudah tidak pantas dikatakan sebagai taman bermain anak.

Ketika menjadi pembicara di Talkshow Parade Jurnalistik, Media: Taman Bermain Anak Masa Kini, ia mengatakan bahwa sudah terlalu banyak dampak negatif dalam penggunaan media oleh anak. Salah satu dampak yang patut diperhatikan adalah banyaknya dampak psikis jangka panjang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagian besar anak saat ini menghabiskan waktunya menonton tv minimal lima jam dalam sehari, 35 jam dalam satu minggu. Mereka kadang mengabaikan waktu makan, mandi, belajar, dan lain-lain.

Waktu yang mereka habiskan untuk terpaku di depan televisi membuat mereka tidak punya waktu untuk melakukan beragam kegiatan fisik yang diperlukan bagi anak. “Kegiatan fisik tertentu seperti lari, lompat, diperlukan untuk meningkatkan perkembangan gerak motorik kasar dan halus pada anak. Kurangnya hal ini bisa berdampak pada terlambatnya perkembangan anak, misalnya telat bicara dan berjalan,” ujar Jovita.

Selain mengganggu gerak motorik kasar dan halus, tersitanya waktu anak oleh media juga membuat fokus dan konsentrasi terganggu. Emosi menjadi fluktuatif karena banyaknya konten kekerasan.

Anak menjadi lebih mudah terpicu amarahnya oleh hal-hal kecil. Konsentrasi anak juga akan berkurang karena terlalu seringnya mereka terpaku pada media. Konsentrasi lebih mudah terganggu oleh hal-hal kecil.

Anak cenderung melakukan apa pun yang mereka lihat tanpa lebih dahulu mencernanya. Angka kecelakaan pada dan oleh anak meningkat secara signifikan.

“Banyak anak usia TK yang sudah bermain pukul-pukulan, jambak-jambakan. Mereka mencontoh konten kekerasan yang mereka lihat di kartun atau sinetron, menganggapnya sebagai sesuatu yang benar dan keren untuk dilakukan,” tutur Jovita.

Cyber crime, bullying, dan seksualitas menjadi konten yang tak terhindarkan dalam media dalam bentuk apa pun. Media memang sudah melakukan berbagai upaya seperti cut dan blur untuk meminimalisasi hal ini. Namun selain itu diperlukan juga partisipasi orangtua untuk memberikan pendampingan dan pengajaran pada anak mengenai hal ini.

Fungsi orangtua harus dikembalikan. Orangtua seharusnya mendampingi dan terlibat langsung dalam kehidupan anaknya. Sekarang ini orangtua seringkali terlalu sibuk untuk bisa terlibat dan mendampingi anak-anaknya. Atau jika orangtua tidak sibuk, mereka buta gadget, tidak mengerti apa itu gadget sehingga tidak bisa mengetahui apa yang dilakukan anaknya.

“Selain mendampingi, hal yang bisa dilakukan untuk mengalihkan anak dari gadget dan media adalah mencari bakat anak dan mengembangkannya. Anak lari ke gadget karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan. Mereka bosan dan tidak punya aktivitas lain yang dinilai mengasyikan untuk ditekuni secara serius,” tutup Jovita. (ded/ded)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER