Jakarta, CNN Indonesia -- Layaknya pepatah bijak bertutur, “Ada seribu jalan menuju Roma”. Dalam konteks mencintai budaya, membangkitkan prestasi, dan menghidupkan karakter yang dirangkap menjadi kesatuan komponen pembangunan bangsa, sebetulnya tak sukar.
Bukan hal mustahil bagi bangsa ini dalam upaya memajukan komponen-komponen tersebut dalam satu gerakan serentak. Banyak upaya yang bisa dilakukan. Tapi, film adalah cara mutakhir dalam mengaplikasikan ketiga komponen pembangunan bangsa tersebut.
Saya sepaham dengan Trisna Pramana, pegiat perfilman Indonesia asal Bali, yang mengatakan, “Film bisa sebagai alat penyebar informasi yang paling mudah diserap oleh masyarakat.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesuai pada data di Pendidikan untuk Kewarganegaraan Dunia, melalui film 50 persen informasi yang disampaikan dapat diingat oleh penonton. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan media tulisan, di mana hanya sekitar 10 persen informasi yang masih bisa diingat oleh pembaca.
Dalam hal ini bukan tidak mungkin ketiga komponen tersebut dapat diaplikasikan dalam media audio visual yang begitu efektif ini.
Tema atraktif dengan sisipan nilai-nilai cinta tanah air, membangkitkan prestasi dan menghidupkan karakter bangsa, bisa menjadi alternatif. Dengan menampilkan figur-figur berkarakter bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Bila ketiga komponen pembangunan bangsa itu diurai lebih rinci. Terkadang kita sering terjebak dalam menerjemahkan substansi yang ada pada ketiga komponen tersebut dan buntu pada pemikiran sempit.
Bila berbicara tentang membangkitkan prestasi, logika kebanyakan orang pasti tertuju pada suatu hasil dalam sebuah kompetisi. Wujud prestasi tak senantiasa hadir dalam bentuk konkret, bahkan dalam wujud abstrak sekalipun.
Seperti upaya kita dalam menanamkan akar bela negara dalam diri sendiri adalah prestasi besar dalam pengabdian kita bagi keagungan bangsa ini. Karena pembelaan bagi negara bukanlah semata-mata tugas personil TNI, melainkan segenap lapisan masyarakat yang disesuaikan dengan kemampuannya masing-masing seperti termaktub dalam UUD 1945 Pasal 30 ayat 1.
Realisasi dalam hal ini bisa dihadirkan dalam bentuk film heroik ataupun film yang mengangkat kasus tentang usaha bela negara dalam hal apapun. Yang menggambarkan usaha bela negara tak terbatas pada upaya dalam memajukan kemampuan fisik ketimbang kemampuan intelektual.
Di antaranya film-film yang dominan mengangkat problem pendidikan adalah film
Serdadu Kumbang,
Alangkah Lucunya Negeri Ini dan
Leher Angsa. Sudut pandang film bercerita dengan cerdik meletakkan amanat utama dalam penegakan bela negara adalah hal yang sangat tepat.
Mengenai pembelajaran akan cinta kepada Indonesia, kebinekaan bagi Indonesia adalah sebuah keniscayaan. Hadir di seluruh pelosok bidang kehidupan yang semestinya dapat disikapi dengan terarah yang dilandasi jiwa nasionalisme.
Bibit-bibit separatisme mencuat untuk meretakkan pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai tampak seperti lepasnya Timor-Timur, konflik separatisme di Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan dalih mencari jati diri dan merasa optimis dalam memegang kuasa besar yang pada akhirnya berbuntut pada perpecahan dan kesenjangan sosial.
Wujud dari narasi cinta Indonesia dalam media audio visual pun turut memberikan sumbangsih dalam penyelenggaraannya. Pencegahan separatisme lewat film
Di Timur Matahari mengangkat pertikaian yang pada akhirnya berujung pada aksi separatisme di ranah paling timur Indonesia ataupun juga diterapkan dalam film
Tanah Air Beta yang memberikan argumen ketika peristiwa berpisahnya Timor-Timur dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketika upaya dalam pertahanan dan keamanan negara dimaknai sebagai rasa cinta tanah air, film dapat berbicara lebih dari sekedar itu.
Implementasi cinta tanah air lewat pengangkatan cagar budaya dan khazanah bineka tunggal ika lewat film juga sudah pernah diciptakan di negeri ini. Insan perfilman turut berkontribusi dalam upaya cinta tanah air dengan mempromosikan budaya-budaya lokal lewat produksi industri-industri kreatif mereka. Di antaranya film
Gending Sriwijaya yang mengangkat budaya kolosal Sriwijaya Sumatera Selatan,
The Mirror Never Lies berbasis budaya laut di daerah Wakatobi serta
Laskar Pelangi dan sekuelnya
Sang Pemimpi yang menarik perhatian lewat budaya Melayu di Bangka Belitung.
Bahkan eksotisme budaya Indonesia telah mengundang produksi film asing untuk mengangkat budaya lokal ke layar lebar Internasional serta menampilkan tipikal budaya ketimuran Indonesia yang masyhur seperti pada film
Java Heat yang menggambarkan budaya-budaya Jawa dan Yogyakarta,
Eat Pray Love yang menampilkan keindahan panorama Bali serta film
The Philosopher yang memuat keindahan objek-objek budaya Indonesia di antaranya Candi Prambanan, Gunung Bromo, Monas dan Kepulauan Bangka.
Jiwa nasionalisme dikikis lewat kemahiran elemen globalisasi yang canggih. Raibnya sekat-sekat yang menjadi batas wilayah Internasional tidak lagi menjadi penghalang penduduk dunia dalam pergaulan.
Budaya asing berbaur dengan budaya lokal dan menjalankan misinya menjadi adikuasa di seluruh pelosok dunia. Di sinilah virus-virus jahat merasuki jiwa nasionalis bangsa Indonesia lewat tampilan budaya luar yang fantastis seperti K-Pop dan Rock.
Akulturasi budaya, saling menyadur dan saling mempengaruhi di antara budaya masing-masing kian merajalela. Tak jarang pula film disalahgunakan ketika perbedaan budaya lokal dan budaya asing tipis adanya menjadi perusak dari inti sendiri.
Hal ini pun mengacu pada redupnya karakter bangsa dari hari ke hari. Matinya karakter bangsa ini berpotensi munculnya suatu kekuatan besar yang tidak lagi melihat pancasila sebagai falsafah dan tumpuan hidup bangsa Indonesia. Pancasila hanya sekedar jadi hafalan luar kepala yang amalannya semena-mena terhadap bobot isi kepalanya sendiri.
Bahkan di antara itu sebagian besar justru bersikap tidak peduli atas tidak hafalnya tiap-tiap butir Pancasila. Menalar logis sejarah panjang berdirinya negara ini dari titik nol menuju suatu titik kemerdekaan. Perkara mudahkah itu semua?
Fenomena mengiris hati yang ditampilkan ketika warga negara kehilangan karakter bangsa dan jiwa cinta Tanah Air di daerah perbatasan Kalimantan antara Indonesia dan Malaysia sehingga menampilkan prestasi dalam ruang lingkup bela negara yang sangat buruk.
Pertahanan dan keamanan negara diserang dari berbagai sisi dan menimbulkan rambu siaga. Warga negara Indonesia lebih memilih hijrah ke negeri tetangga demi mendapat kemakmuran daripada setia pada kepelikan hidup hanya untuk mempertahankan identitas diri selaku warga negara Indonesia.
Mata uang ringgit lebih familiar daripada rupiah. Jalanan negara tetangga yang mulus sementara Indonesia masih tanah berlubang dan sarana prasarana penunjang kehidupan di negeri tetangga lebih memadai daripada fasilitas warga negara Indonesia yang memprihatinkan. Seperti para veteran yang teguh jiwa nasionalismenya, yang digambarkan kondisi pilunya dalam film
Tanah Surga... Katanya.
Sebagai generasi muda mari berdiri di gardu terdepan! Tegakkan komponen pembangunan bangsa dalam usaha pertahanan dan keamanan di berbagai bidang dengan membuat produk industri kreatif unggul lewat prestasi berbasis budaya melalui pengayaan karakter bangsa. Optimisme harus digenggam bahwasannya pesona Indonesia bukan mustahil untuk direkonstruksi melalui lensa perfilman nasional.
(ded/ded)