Jakarta, CNN Indonesia -- “Good morning Aunty and Uncle,” ujar seorang anak perempuan berusia tiga tahun dalam sebuah video yang diunggah oleh akun instagram milik ibunya. Ya. Ucapan itu dilontarkan lantaran menuruti keinginan sang ibu untuk mengikuti apa yang dikatakannya.
Rutinitas tersebut selalu dilakukan setiap pagi untuk menyapa ratusan ribu pengikut akun tersebut yang juga tak henti-hentinya memuji kecerdasan sang balita yang belum menduduki bangku sekolah dasar tersebut, tetapi sudah mampu berbahasa Inggris. Tidak hanya sapaan pagi saja. Sang ibu pun kerap kali mengirimkan video ketika keduanya saling bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris. Tidak jarang pula keduanya mencampuradukkan antara bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi.
Ada pula akun instagram milik salah satu aktris di Indonesia yang juga merupakan fenomena serupa yang penulis temui dan ikuti perkembangannya. Sosok yang memulai kariernya sebagai presenter acara infotainment tersebut memiliki seorang anak perempuan yang kini berusia kurang lebih enam tahun dan sudah dikenali dengan bahasa Inggris oleh kedua orang tuanya tersebut sejak berusia dua tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu dilakukan terus menerus selama empat tahun. Tidak heran apabila kini putri kecilnya tersebut begitu fasih dalam berbahasa inggris. “You have to put your handphone because on the bed there is no charger,” ujar sang anak kepada ibunya dalam sebuah video yang diunggah pada 31 Juli 2016 tersebut.
Sang anak melanjutkan demikian, “Mama, aku lagi cerita. Kalau aku lagi cerita, listen to me”. Wajar apabila aksi tersebut dibanjiri komentar yang sebagian besar menuai pujian. Salah satunya yang penulis temukan adalah komentar dari akun kerabat sang ibu yang berbunyi demikian, “Anak lo smart bener, just like her mother”.
Selain dalam percakapan sehari-hari, anak-anak masa kini kerap kali memanggil kedua orang tuanya dengan sebutan “mommy” dan “daddy”. Hal ini saya temukan dalam akun instagram milik pasangan aktor dan aktris yang belum lama ini dikaruniai seorang anak perempuan. Dalam salah satu foto yang diunggah oleh akun instagram milik sang istri terdapat keterangan demikian, “Hei, kamu diapain sama Daddy sampe bisa begini ekspresinya?”
Kejadian ini tidak hanya penulis temukan dalam beberapa video instagram, melainkan dalam kehidupan sehari-hari. Sanak saudara dan beberapa kerabat penulis pun tidak ragu-ragu memamerkan panggilan tersebut di hadapan publik.
Pada masa kini, tampaknya anak-anak dengan usia belia lebih mengenal tokoh-tokoh dari negeri dongeng dibandingkan cerita rakyat dalam negeri. Hal ini terbukti dalam sebuah video yang diunggah oleh akun instagram milik salah seorang aktris ternama Indonesia.
Dalam video tersebut tampak sang anak dengan usia enam tahun menceritakan dengan begitu ekspresif kepada ibunya betapa ia menyukai tokoh Rapunzel. Tidak hanya itu. Masih dengan akun yang sama, tetapi dalam video yang berbeda, penulis menemukan bahwa sang anak dan ibu menyelenggarakan “Princess Talkshow” di mana dalam keterangan video tersebut, sang ibu mengatakan bahwa keduanya akan berbincang-bincang perihal buku apa saja yang sering dikonsumsi oleh sang anak.
Hal ini tentu menandakan bahwa sebagian besar buku yang dibaca oleh sang anak adalah buku yang membahas terkait tokoh-tokoh Disney. Sang ibu tidak memberikan kesempatan bagi anak tersebut untuk mengetahui bagaimana cerita-cerita rakyat dari Indonesia yang tentu tidak kalah menarik dan mengandung pesan moral yang tentunya juga bisa berpengaruh terhadap perkembangan sang anak ke arah yang lebih positif.
Menurut Montessori, pada usia 1,5 - 3 tahun, seorang anak memiliki kepekaan bahasa sehingga sangat tepat untuk mengembangkan bahasanya pada rentang usia tersebut. Namun justru ketika sang anak menginjak usia tersebut, sebagian besar orang tua muda masa kini cenderung memilih untuk membiasakan sang anak bercakap-cakap dengan bahasa Inggris, membiarkan sang anak terbiasa dengan sapaan-sapaan asing termasuk dalam hal menyapa kedua orang tua dan orang-orang terdekat, serta menyuapi sang anak dengan cerita-cerita dongeng yang berasal dari luar.
Sementara itu, pada rentang usia 3 - 6 tahun merupakan saat di mana sang anak peka untuk meneguhkan sensorisnya, memiliki kepekaan indrawi. Khusus pada usia 3-4 tahun lebih peka untuk menulis dan usia 4-6 tahun memiliki kepekaan untuk membaca. Apabila dihubungkan dengan fenomena-fenomena yang terjadi saat ini, tentu terjadi ketidaktepatan perlakuan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak.
Fakta yang penulis temukan hanya diwakili oleh beberapa dari sekian banyak akun instagram dan kehidupan nyata yang mengalami fenomena serupa. Kejadian tersebut mungkin dianggap membanggakan bagi sebagian orang. Namun di sisi lain, hal ini sungguh memprihatinkan.
Di saat Indonesia begitu krisis terhadap orang-orang yang menjunjung tinggi penggunaan bahasa Indonesia utamanya bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidah EYD, generasi-generasi barunya justru dicekoki dengan bahasa asing yang menempati porsi lebih besar. Bahkan dalangnya adalah keluarganya sendiri dan dilakukan secara sadar.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam tahapan sosialisasi seorang anak. Menurut Soerjono Soekanto, keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap proses sosialisasi manusia.
Pertama, keluarga merupakan kelompok primer yang selalu bertatap muka di antara anggotanya. Di antara anggotanya dapat selalu mengikuti perkembangan anggota-anggota yang lain. Kedua, orang tua mempunyai kondisi yang tinggi untuk mendidik anak-anaknya sehingga menimbulkan hubungan emosional yang sangat diperlukan dalam proses sosialisasi. Ketiga, adanya hubungan sosial yang tetap maka dengan sendirinya orang tua mempunyai peranan yang penting terhadap proses sosialisasi anak.
Jika fenomena ini terus-menerus menjamur dan tidak segera dilakukan pencegahan, maka tidak mustahil bahasa Indonesia beserta kaidah EYD yang telah diwarisi secara turun-temurun akan mengalami kepunahan. Bagaimana tidak? Masyarakat Indonesia yang hidup puluhan tahun dan hanya diajarkan bahasa Indonesia dan bahasa daerah sejak kecil oleh keluarganya saja belum tentu bisa menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidahnya. Untuk menghindari hal tersebut, ada beberapa pencegahan yang bisa dilakukan.
Pertama, perlu adanya sosialisasi dan penekanan dari pemerintah terkait betapa pentingnya eksistensi bahasa Indonesia dalam negeri ini. Di samping itu, pemerintah juga bisa menggalakkan program terkait penggunaan bahasa Indonesia yang sesuai dengan kaidahnya tersebut.
Menurut penulis, program tersebut bisa dimulai dari lingkup keluarga agar dampak yang dihasilkan pun bisa lebih terasa dibandingkan apabila program tersebut dilakukan pada lingkup sekolah, pertemanan, bahkan media massa. Ketiga, perlu adanya kesadaran dalam masyarakat utamanya setiap keluarga-keluarga kecil di Indonesia terkait betapa pentingnya bahasa Indonesia untuk ditanamkan sejak dini. Keempat, setiap keluarga harus menyeimbangkan porsi antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing yang ingin diajarkan sejak dini terhadap sang anak sehingga sang anak tidak serta merta melupakan bahasa ibu dan tidak pula tertinggal dari kemajuan zaman dan terpaan era globalisasi.
Dengan melakukan beberapa langkah tersebut, maka hal itu sudah menjadi usaha masyarakat khususnya keluarga-keluarga kecil di Indonesia untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai tamu di rumah sendiri.
(ded/ded)