Jakarta, CNN Indonesia -- Seperti yang sudah diketahui, hari ini pemerintah merilis uang rupiah dengan desain baru. Termasuk tokoh-tokoh baru yang dilukiskan di lembara maupun kepingan uang itu. Berikut ini lanjutan kisah mereka.
M.H. Thamrin (Di uang kertas pecahan Rp2.000)M.H. Thamrin dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1894 di Jakarta. Ia mengenyam bangku sekolah dasar di sekolah Belanda, Institut Bosch, lalu pada tahun 1910 Husni Thamrin dimasukkan oleh orangtuanya ke sekolah lanjutan yang bernama Koning Willem III. Ia selalu memonjol dalam bidang akademik dan pergaulan, ia mulai condong pada bidang yang sukainya, yaitu politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun 1919 dia ditunjuk menjadi anggota Dewan Kota Jakarta. Lalu pada tahun 1923 ia memasuki perkumpulan “Kaum Betawi”. Namanya makin dikenal dan dunianya makin luas. Karirnya terus meningkat dalam Dewan Kota, sehingga ia akhirnya diangkat menjadi Wakil Walikota tingkat I.
Pada tanggal 16 Mei 1927 M.H. Thamrin diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad), di samping kedudukannya di Dewan Kota. Pada 1930 Thamrin menjadi ketua Fraksi Nasional di Dewan Rakyat. Anggota fraksi itu terdiri dari bangsa Indonesia. Thamrin ikut mendukung “Petisi Sutardjo” di Dewan Rakyat pada tahun 1936 yang menuntut supaya Indonesia diberikan dominion status.
M.H. Thamrin juga ikut membentuk PPPKI di Bandung pada tanggal 17 Desember 1927. Ia duduk dalam PPPKI sebagai wakil Kaum Betawi. Dia juga ikut menjadi anggota Perkumpulan Akademi Indonesia (V. I . A.) yang didirikan pada tanggal 10 Desember 1932.
M.H. Thamrin memprakarsai berdirinya Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang didirikan pada tanggal 21 Mei 1939 di Jakarta. Kegiatan politik Muhammad Husni Thamrin makin dibatasi oleh pemerintah Hindia Belanda, sesudah diumumkan keadaan bahaya (S.O.B) pada tahun 1940. Pada tanggal 6 Januari 1941 dia dikenakan tahanan rumah oleh Belanda.
I Gusti Ketut Pudja (Di pecahan koin Rp1.000)Pada koin pecahan Rp1.000 ada wajah I Gusti Ketut Pudja. Dia adalah putra dari pasangan I Gusti Nyoman Raka dan Jero Ratna Kusuma, yang merupakan bangsawan Bali.
Ia lahir pada tanggal 19 Mei 1908. Pada tahun 1934 ketika berusia 26 tahun, ia berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten dari Rechts Hoge School di Jakarta. Pudja akhirnya bekerja di sebuah kantor residen Bali dan Lombok di Singaraja.
Ia juga merupakan pahlawan yang membantu dalam persiapan kemerdekaan. Pudja tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Dia mewakili sunda kecil, saat ini Bali dan Nusa Tenggara. Selain itu juga, I Gusti Ketut Pudja terlibat dalam perumusan naskah Proklamasi di rumah laksamana Maeda pada tanggal 16 Agustus 1945.
Pada tanggal 22 Juni 1945 terbentuklah Piagam Jakarta yang menghasilkan 5 butir cikal bakal Pancasila.
Sebagian masyarakat Indonesia bagian timur tidak setuju dengan bunyi sila pertama, termasuk pula I Gusti Ketut Pudja. Ia yang menyarankan agar bunyi butir pertama diganti menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Akhirnya diubah melalui perundingan.
Pada tanggal 22 Agustus 1945 Presiden Soekarno mengangkat Pudja menjadi Gubernur Sunda Kecil atau Bali pada saat itu masih disebut Wakil Pemimpin Besar Bangsa Indonesia Sunda Kecil. Tugas pertamanya sebagi gubernur adalah menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan dan menjelaskan konsep dan struktur pemerintahan pada masyarakat hingga ke pelosok.
Ia juga berjuang dalam mengusir penjajah Jepang. Dia memerintahkan para pemuda untuk melucuti senjata Jepang yang pada saat itu sebagian masih berada di Bali. Namun pada akhir tahun 1945 Pudja sempat ditangkap oleh tentara Jepang.
I Gusti Ketut Pudja tutup usia pada 4 Mei 1977. Atas jasanya Presiden Soeharto pada saat itu menganugerahkan penghargaan Bintang Mahaputera Utama dan pada tahun 2001 ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional.
Herman Yohannes (Di koin Rp100)Uang koin ini akhirnya memampang wajah pahlawan nasional. Pada pecahan Rp100 terdapat wajah Prof.Dr.Ir. Herman Johannes.
Sosok ini lahir di Rote, 28 Mei 1912. Dia adalah cendekiawan, politikus, ilmuwan Indonesia, dan guru besar di Universitas Gajah Mada (UGM). Ia menamatkan pendidikannya di STT Bandung di Yogyakarta, yang merupakan cikal bakal berdirinya Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, dimana ia salah satu perintisnya. Sebelum menjadi Rektor pada tahun 1961, ia juga menjadi guru, Cursus tot Opleiding van Middelbare Bouwkundingen (COMB), Bandung, 1940, Sekolah Menengah Tinggi (SMT), Jakarta, 1942, Dosen Fisika, Sekolah Tinggi Kedokteran, Salemba, Jakarta, 1943, Lektor, Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandung di Yogyakarta, 1946–1948, Mahaguru, STT Bandung di Yogyakarta, Juni 1948, Dekan Fakultas Teknik UGM, Yogyakarta 1951, Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam (FIPA) UGM, Yogyakarta , 1955.
Meski lebih banyak dikenal sebagai pendidik dan ilmuwan, Herman Johannes juga pernah berkarier di bidang militer. Keahliannya sebagai fisikawan dan kimiawan ternyata berguna untuk memblokade gerak pasukan Belanda selama clash I dan II.
Pada Januari 1949, Kolonel GPHD jatikoesoemo meminta Herman Johannes bergabung dengan pasukan Akademi Militer di sektor Sub-Wehrkreise 104 Yogyakarta. Dengan markas komando di Desa Kringinan dekat Candi Kalasan, lagi-lagi Herman Johannes diminta meledakkan Jembatan Bogem yang membentang di atas Sungai Opak. Jasanya di dalam perang kemerdekaan membuat Herman Johannes dianugerahi Bintang Gerilya pada tahun 1958 oleh pemerintah.
Herman Johannes meninggal dunia pada 17 Oktober 1992 karena kanker prostat. Selain wajahnya yang kini hadir di pecahan uang 100 rupiah, nama Prof Herman Johannes juga diabadikan menjadi nama jalan yang menghubungkan Kampus UGM dengan Jalan Solo dan Jalan Jenderal Sudirman di kota Yogyakarta.
(ded/ded)