Jakarta, CNN Indonesia -- Teguh Karya, esai kehidupan di setiap filmnya. Jauh dari kesombongan asal mengemas sejarah, asal publik senang melihat film berwarna, menjual seni film picisan, sekadar menuai untung di modernis. Film Teguh, senantiasa memberi makna edukasi termuskil, seluasnya makna kehidupan berbangsa bagi generasi selanjutnya.
November 1828, diproduksi tahun 1978. Sebuah film pemberi latar belakang ‘epik sejarah benar’. Teguh Karya, seakan berkata “Aku Indonesia. Ini caraku mencintai Indonesia”. Bukan film sekadar siapa pahlawan. Siapa berjasa bagi negeri tercinta ini. Di antara abstraksi pembalakan hutan di kanvas langit peristiwa di dalam kulkas.
Film itu memikat tak sekadar heroik. Tak sekadar film menempel epik sejarah. Lalu diangkat begitu saja menjadi wajah film Indonesia. Maestro Teguh Karya, (1937-2001), filsuf teater dan film Indonesia terkemuka, masih terdepan setelah pendahulunya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Teguh Karya, tak sekadar mempertontonkan epik sejarah lewat film November 1828, (Piala Citra, Festival Film Indonesia-1979), Justru ia membangun fiksi dalam epik sejarah atas dasar perang Diponegoro (1825-1830).
Perang itu disebut juga perang besar di Tanah Jawa atau De Java Oorlog atau The Java War. Akibat Perang Jawa itu, diperkirakan 200.000 jiwa tewas, 8000 serdadu Belanda dan 7000 serdadu pribumi juga tewas, pada eranya.
Teguh Karya, hatinya komitmen keseniannya. November 1828, membangun kisah kekuatan perang, Sentot Prawirodirdjo, (1807-1855) panglima perang Diponegoro.
Setelah kematian Ayahnya, Ronggo Prawirodirdjo, ipar dari Sultan Hamengkubuwono IV. Ayah Sentot Prawirodirdjo, dibunuh oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36, Herman Willem Daendels, pada masa pemerintahannya 1808-1811.
Sentot Prawirodirdjo, juga bergelar Ali Pasha artinya Panglima Tinggi, gelar itu didapat dari kerajaan Turki, saat dia belajar ilmu kemiliteran di Turki. Hatinya adalah cintanya pada tanah leluhur, dia memacu perlawanan mengusir kolonialisme Belanda dari Tanah Jawa.
Sentot Prawirodirdjo dan Teguh Karya, dua sosok jiwa korsa, contoh baik manusia Indonesia diseni kini, digarda depan. Kedua tokoh itu cinta tanah negerinya tak sekadar menulis yel-yel euforia di spanduk.
Adakah perbedaan perjuangan lalu dan kini. Lalu dan kini berkesinambungan pada akar sejarah Indonesia. Pergantian kekuasaan pemerintahan bukan kehebatan. Hal biasa dan alamiah.
Siapa menulis sejarah lalu dan kini, ‘Generasi’. Siapa ‘Generasi’ semua rakyat pejuang pendiri negeri ini berada pada baik dan benar “tidak termasuk kelompok pencuri hak-hak rakyat.”
Siapa “kelompok pencuri hak-hak rakyat ”Para mafia pembalak hutan dan ekosistem, pengkhianat konstitusi, mafia koruptor dan bandar narkoba. Siapa dapat membasmi para pencuri hak itu. Rakyat dan hukum formal negara. Mampukah.
Mampu dan bisa. Mulai dari rumah dari sebuah keluarga. Memberi pelajaran sederhana pada anak cucu “Berani jujur dan berkata benar” di rumah cinta dan kasih sayang dalam sebuah keluarga, salah satu kekuatan tradisi di negeri ini.
Tradisi, tolok ukur utama kesederhanaan, berkekuatan multi edukasi dalam ikatan kesatuan dan persatuan, gotong royong, belajar menghargai kekayaan negeri sendiri dan kekuatannya, di ranah multi budaya budi pekerti, membuka intelengensia menuju sekolah-sekolah harapan. Neokolonialisme meski punya rudal canggih sekalipun, takkan mampu mengalahkannya.
Ayo Bung! Tetap bersatu teguh. Pasti kabur itu provokator neokolonialisme, langsung miskin kehilangan pekerjaan, mereka hidup berkelompok seperti boneka barbie, mengintip dari balik laci kaum koruptor.
Salam cinta Indonesia. Negeri berani mengadili perampok hutan. Negeri para sahabat. Negeri para pahlawan. Negeri orang-orang jujur. Negeri berani berkata benar.
Negeri anti-korupsi. Negeri kesetaraan demokrasi, kesehatan dan pendidikan. Negeri pekerja pembangun Indonesia. Negeri cinta kasih multi kultur. Salam Indonesia Unit.
(ded/ded)