Jakarta, CNN Indonesia -- Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang dibutuhkan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Kekurangan atau kelebihan dalam jangka waktu lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan.
Pelayanan kesehatan di Indonesia pada di era presiden Jokowi ini faktanya belum juga membaik.
Anggota komisi IX DPR yang membidangi kesehatan, Okky Asokawati menyebut rapor pemerintah dalam menaikkan gizi masyarakat masih buruk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Buktinya adalah riset yang dilakukan oleh Global Nutrition pada 2016 lalu menempatkan Indonesia berada di peringkat 108 dunia. Untuk negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya unggul dari Laos di peringkat 124 dan Timor Leste pada posisi 132.
Padahal, negara Asia Tenggara lainnya jauh di atas Indonesia. Misalnya Thailand (46), Malaysia (47), Vietnam (55), Brunei (55), Philipina (88) dan Kamboja (95).
Pada saat ini, Indonesia menghadapi masalah gizi ganda, yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih. Menurut Jokowi, keberhasilan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Kualitas ini dapat ditingkatkan melalui gizi yang baik.
Permasalahan gizi ganda ini bisa disebabkan karena kurangnya pengetahuan AKG (Angka Kecukupan Gizi). AKG adalah jumlah zat-zat gizi yang hendaknya dikonsumsi setiap hari untuk jangka tertentu sebagai bagian dari diet normal rata-rata orang sehat.
AKG yang dianjurkan didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok umur, gender, aktivitas fisik dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui/laktasi. Seorang pekerja yang membutuhkan tenaga seperti pekerja bangunan tentunya akan berbeda dengan pekerja kantoran atau juga balita tentunya akan membutuhkan asupan gizi yang lebih banyak jika dibandingkan dengan orang dewasa karena pada saat tersebut merupakan masa pertumbuhan yang pesat.
Masyarakat perlu mengetahui jenis-jenis bahan pangan yang akan disajikan seperti banyaknya karbohidrat, protein, lemak yang terkandung di dalamnya dan juga perlu menyesuaikan dengan patokan yang telah disebutkan sebelumnya.
Dalam mengkonsumsi bahan pangan tersebut dianjurkan tidak berlebihan atau juga tidak kekurangan. Namun realita yang terjadi adalah masyarakat Indonesia kurang memperhatikan pola asupan gizi yang dimakan.
Kebanyakan masyarakat lebih cenderung memakan makanan yang banyak mengandung karbohidrat seperti nasi karena lebih murah dan mudah didapatkan. Buktinya adalah pada Juli 2016 lalu, Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Eniya Listiani Dewi memaparkan bahwa konsumsi beras perkapita di Indonesia mencapai 124 kg/tahun yang menjadikan Indonesia sebagai nomor satu tingkat konsumsi beras.
Sehingga jika terus dikonsumsi secara berkepanjangan maka akan ada penumpukan karbohidrat di dalam tubuh ini yang kemudian kelebihan karbohidrat ini akan disimpan dalam hati dalam bentuk glikogen (glukogenesis) dan jika terlalu berlebih tentunya hati manusia tidak sanggup menyimpan karbohidrat lagi maka karbohidrat (glukosa) itu diubah menjadi lemak (lipogenesis) yang dibawa ke sel-sel lemak di dalam tubuh manusia yang dapat menyimpan lemak dalam jumlah tidak terbatas.
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kegemukan/obesitas di kalangan masyarakat.
Penanggulangan masalah gizi kurang perlu dilakukan secara strategis, terpadu dan terkoordinasi melalui suatu gerakan dengan melibatkan semua sektor dan masyarakat terkait, melalui upaya-upaya peningkatan pengadaan pangan, penganekaragaman produksi dan konsumsi pangan, peningkatan status sosial, ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat, serta peningkatan teknologi hasil pertanian dan teknologi pangan.
Penanggulangan masalah gizi lebih yaitu dengan cara menyeimbangkan antara masukkan dan keluaran energi melalui pengurangan makanan dan penambahan latihan fisik atau olah raga serta menghindari tekanan hidup/stres.
(ded/ded)