Bandung, CNN Indonesia -- “Kutukan perpustakaan! Indonesia terpuruk seperti ini karena kurangnya minat baca,” ujar Suherman, salah seorang penggiat literasi baca. Dengan berapi-api, ia memaparkan pentingnya membaca bagi kemajuan bangsa dalam seminar dan jajak bicara PRICE yang dilaksanakan pada Selasa 25 April lalu, di Bale Santika Universitas Padjadjaran.
Menjelang siang, matahari masih menyembul malu-malu. Segerombolan mahasiswa mengantre menukarkan tiket masuk di meja panitia. Nantinya, tiket masuk tersebut dapat ditukarkan dengan panganan berat dari salah satu restoran cepat saji ternama dengan taglinenya, “I’m Lovin It!”. Para mahasiswa tersebut akan menghadiri seminar dan jajak bicara “PRICE” yang diselenggarakan oleh Himaka (Himpunan Mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan) Fikom Unpad.
PRICE merupakan sebuah singkatan dari Padjadjaran Information and Cultural Event yang diadakan untuk memperingati Hari Buku Sedunia pada 23 April. Literasi baca sebagai salah satu upaya pendekatan kultural menjadi pembahasan utama. Abang None Buku Jakarta, Prasetyo Amirulloh dan Yasmine Shafa Kamila, datang jauh-jauh bertandang dari Ibukota khusus untuk menjadi pembicara. Mereka berdua dipilih sebagai representasi anak muda yang gemar dan peduli akan literasi baca.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
None Buku Jakarta, Yasmine, duduk dengan melipat kakinya, sesekali ia merapikan kerudung merah jambunya. Kebaya ungunya terlihat cerah di atas panggung. Ia mengatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia hanya mencapai persentase 0,001 saja. Atau dalam kata lain hanya satu dari seribu orang di Indonesia yang gemar membaca. Indonesia mendapat ranking rendah dalam urusan minat membaca yaitu peringkat ke-60 dari 61 negara.
Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) dirasa belum cukup untuk membuat Indonesia menjadi negara maju. SDA tidak dapat menjadi satu-satunya modal negara. Kurangnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), menurut Yasmine merupakan alasan utamanya. “Nah, cara meningkatkan kualitas SDM adalah dengan literasi baca.” Partnernya, Prasetyo pun menambahkan, “Masyarakat harus sadar kalau membaca itu kewajiban bukan tuntutan.”
Keduanya kemudian berbagi pengalamannya menjadi Abang None Buku Jakarta serta kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan terkait upaya meningkatkan literasi baca. Mereka juga menekankan bahwa sebenarnya tidak ada alasan seseorang tidak bisa membaca. Jika tidak mampu membeli buku cetak di toko buku, maka bisa pinjam di perpustakaan. Jika tidak suka membawa buku cetak ke mana-mana, maka bacaan tersebut dapat disimpan di telepon genggam.
Kata literasi baru masuk ke Indonesia pada tahun 2010-an. Sebagai sebuah kata serapan, makna kata literasi itu sendiri hingga saat ini belum bisa ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sehingga pemaknaannya masih beragam di tengah masyarakat. Dijelaskan oleh Suherman dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), secara akademis literasi adalah bagaimana kemampuan seseorang untuk mencari informasi lalu mengelolanya kemudian mengaplikasikannya, dan juga mengkomunikasikannya kepada orang lain.
Suherman juga menyatakan bahwa selama tujuh kali Indonesia berganti-ganti pemimpin negara, tidak ada satu pun di antara mereka yang memberikan perhatian khusus terhadap pentingnya literasi baca. Tidak ada anggaran khusus untuk mengurusi itu.
Data penelitian Literasi Jawa Barat sudah melakukan pemetaan dan survei seperti yang dilakukan Perpustakaan Nasional. Namun, data-data tersebut dianggap belum mampu mewakili seluruh populasi masyarakat Indonesia. Hingga saat ini, juga belum ada riset budaya terkait literasi baca yang ideal.
Seperti yang dikatakan oleh None Buku Jakarta ketika membuka seminar, Books can change the world. Dikutip dari Suherman, buku dapat mengubah dunia dan akhirat karena pengaruh baik serta buruk bisa didapatkan dari pengalaman membaca. Salah satu contohnya adalah maraknya sastra-sastra ‘selangkangan’ yang disebut Suherman mampu mempengaruhi kondisi psikologis pembacanya.
Setiap peradaban dunia memiliki satu buku yang berpengaruh. Sebut saja, buku Multituli buah karya Max Havelar. Buku ini mampu membunuh kolonial Belanda karena membangkitkan kesadaran masyarakat untuk merdeka. Atau buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer, seperti Rumah Kaca dan sebagainya. Karena kekuatannya mampu membuat “takut” pemerintah, buku-bukunya pun sempat dibredel atau dilarang beredar di pasaran. “Buku-buku Pram itu sebuah sastra adiluhung yang luar biasa. Untungnya, sekarang udah dijual bebas,” ucap Suherman sembari tersenyum simpul.
“Siapa seorang Kartini tanpa literasi?” tanya Suherman di tengah-tengah acara seminar. Hari Kartini dan Hari Buku Sedunia memang hanya selang dua hari terjadi. Suherman pun kemudian membahas tentang keterkaitan antara sosok R.A Kartini dengan literasi baca.
Sebuah buku dapat berperan menjadi sebuah penerangan di tengah kegelapan. Seperti pepatah yang disampaikan oleh R.A Kartini, “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Tokoh perempuan yang menjadi representasi wanita Indonesia yang selalu dirayakan hari kelahirannya setiap tanggal 21 April ini hidup dengan abadi.
Meski raganya sudah terkubur di tanah, tetapi idenya masih terkenang hingga saat ini. Menurut Suherman, hal yang membuat Kartini menjadi abadi sangat sederhana. Karena dia menulis.
“Kenapa harus Kartini yang dijadikan tokoh sentral wanita? Padahal ada banyak wanita-wanita hebat lainnya di Indonesia seperti Dewi Santika atau Cut Nyak Dien. Mereka tidak menjadi tokoh sentral karena tidak menulis. Saya kutip dari kata-kata Imam Ghazali, kalau mau abadi, menulislah! Itulah kekutan literasi!”
Sosok perempuan bangsawan Jawa ini membuat iklan di surat kabar pada 15 Maret 1899. Suratnya berisi perkenalan diri dan pencarian teman pena wanita untuk keperluan korespondensi.
Kartini dengan spesifik menyebut bahwa yang ia cari adalah seorang gadis sebaya dari Belanda yang juga peduli terhadap zaman modern dan perubahan demokrasi di Eropa. Ajakan sahabat penanya tersebut pun disambut oleh Estelle Zehandellar atau yang akrab dipanggil Stella. Stella adalah seorang aktivis feminisme angkatan pertama di Belanda dan seorang anggota partai sosial-demokrat Belanda (Sociaal-Democratische Arbeiders Partij (SDAP).
Namun, tidak hanya surat-surat kepada None Belanda yang ditulisnya, Kartini juga menulis tulisan lainnya di media massa. Salah satu tulisannya yang terkenal adalah yang ditulisnya pada tahun 1989, berjudul “Perkawinan itu di Koja” terbit di Jurnal Humaniora dan Ilmu Pengetahuan Sosial Asia Tenggara dan Oseania. Dengan kata lain, Kartini telah membukakan pintu-pintu kebebasan melalui guratan katanya di kertas.