Taman Literasi Penebar Seri

CNN Indonesia
Kamis, 08 Jun 2017 09:50 WIB
Gerakan literasi di Bandung sudah mulai terlihat melalui aksi beberapa komunitas sukarelawan yang membangun Taman Bacaan Masyarakat atau TBM.
Ilustrasi perpustakaan (Foto: Pixabay/geralt)
Bandung, CNN Indonesia -- Gerakan literasi di Bandung sudah mulai terlihat. Hal ini ditandai dengan adanya gerakan literasi beberapa komunitas sukarelawan yang membangun Taman Bacaan Masyarakat atau TBM. Hal ini lah yang diteliti oleh tiga dosen dan pustakawan dari Universitas Padjadjaran atau dikenal Unpad. Rully Khairul Anwar M.Si., Andri Yanto, M.I.Kom., dan Elnovanis Lusiana, M.Si.

Ketiganya tertarik pada salah satu TBM yang berdiri di Kabupaten Bandung Barat yaitu TBM Pengelolaan Lingkungan Cibungur. “Saya melihat keunikan dari TBM ini, dilihat dari sisi pelaku. Mereka adalah aktivis yang peduli terhadap masyarakat dengan berbagai latar belakang. Namun, uniknya tidak ada satu pun dari mereka yang mengerti tentang ilmu perpustakaan,” ujar Rully, ketua peneliti ketika ditemui di Fakultas Ilmu Komunikasi, Unpad.

Menurut Rully, hal ini dapat dijadikan sebuah model. Pendirian TBM yang dikelola oleh orang-orang yang tidak sesuai kepakarannya ternyata dapat berjalan dengan baik dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar. “TBM seperti ini adalah sesuatu yang baru dan hanya ada di Indonesia. Jika dibandingkan dengan negara barat, di sana memang ada TBM namun pengelolanya tetap harus yang profesional”.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penelitian yang selesai pada Desember 2016 ini memperkenalkan TBM Pengelolaan Lingkungan Cibungur yang berdiri pada 2009. Dengan bermodalkan kepedulian terhadap masyarakat dan sebuah ruang tamu, TBM ini dapat berdiri hingga kini.

Tak hanya menjadi sumber informasi, TBM ini juga dapat menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar. Pasalnya, di TBM ini masyarakat tidak hanya dapat membaca dan meminjam buku. Mereka juga mendapat pelatihan dari beberapa relawan. Seperti cara berwirausaha, cara membuat kerajinan tangan, penyediaan les untuk anak-anak, dan pengajian.

“Di TBM ini juga ada kegiatan diskusi yang membuahkan ide-ide yang akhirnya direalisasikan. Seperti membangun usaha konveksi, kerajinan, dan koperasi. Tentunya kegiatan tersebut dapat menambah pendapatan masyarakat. Tak hanya itu, TBM ini juga sebagai wadah kreatifitas anak-anak. Mereka sudah memiliki komunitas seni, bahkan sudah memiliki album dan sejenis band yang sudah beberapa kali dipanggil untuk mengisi acara. Semua pengetahuan dalam berbisnis dan berkesenian dapat dicari tidak hanya dari narasumber yang ada tapi juga dari buku dan internet yang tersedia di TBM,” ujar Andri, anggota peneliti.

Sambil membolak-balik halaman laporan akhir tahunnya, Andri menegaskan, TBM yang ia teliti ini dapat disebut TBM murni. Menurutnya, TBM ini memang diawali dengan modal dari pendirinya yang bernama Wildan. Namun, seiring berjalannya waktu ada yayasan yang membantu berkembangnya TBM tersebut. Bantuan yang diberikan dapat dalam bentuk buku, komputer, atau beasiswa bagi relawan yang berstatus pelajar. “Bantuan juga datang dari pemerintah yaitu dari Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Bandung Barat. Ada juga dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi sampai Perpustakaan Nasional. Namun bantuan dari non pemerintah jumlahnya non pemerintah."

Andri juga memaparkan beberapa kendala yang sering terjadi di TBM Cibungur. Di antaranya, relawan yang beralih tingkat pendidikan dari SMP ke SMA cenderung meninggalkan TBM karena telah memiliki kesibukan masing-masing. Mereka cenderung sulit membagi waktu antara kegiatan TBM dengan kegiatan sekolah yang semakin padat. Tidak pastinya pendataan relawan juga menjadi suatu kendala. Tak ada pencatatan resmi bagi relawan ketika ingin bergabung dengan TBM sehingga relawan bisa datang dan pergi sesukanya.

Di sisi lain, TBM semacam ini memiliki nilai lebih yang tak dimiliki perpustakaan institusi atau perpustakaan resmi. TBM menyajikan kebebasan dan keleluasaan untuk para pembaca. Tak ada aturan dan prosedur yang mengikat, bahkan pencatatan peminjaman buku pun tak ada. Mereka lebih menerapkan nilai kejujuran dalam kegiatan TBM. Keadaan tersebut membuat pembaca betah dan santai. Beda halnya dengan perpustakaan resmi yang menerapkan berbagai aturan. Seperti aturan berpakaian, denda jika buku hilang atau rusak dan sebagainya.

“TBM pun tidak hanya mampu menambah pengetahuan pembaca, tapi juga menambah keahlian sehingga berpengaruh terhadap kemajuan hidupnya. Ringkasnya, penelitian kami ini melihat model pengelolaan TBM. Kalau dilihat secara praktik, aktivitas mereka sangat bagus. Namun, secara konsep mereka tidak menyadari bahwa kegiatan mereka adalah model literasi. Cuman mereka enggak ngeh apa itu model literasi dan bagaimana tahapannya. Temuannya, mereka dapat melakukan kegiatan literasi tanpa tahu detailnya karena latar belakang mereka bukan dari ilmu informasi dan ilmu perpustakaan,” kata Andri.
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER