Jakarta, CNN Indonesia -- Sejarah sekolah di Indonesia tidak pernah lepas dari sejarah penjajahan Belanda. Dulu ketika penjajah Belanda datang, orang pribumi yang berhak mendapatkan pendidikan adalah anak para kaum bangsawan. Sehingga muncullah zaman kebangkitan nasional di mana para penduduk Indonesia khususnya kaum bangsawan mulai menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia.
Sistem sekolah di Indonesia pun tidak terlepas dari pengaruh Belanda, di mana sistem sekolah dengan jenjang yang bertingkat-tingkat menyerupai sistem sekolah di Belanda. Sehingga sekolah formal di Indonesia membutuhkan waktu yang cukup lama, dari tingkat Taman Kanak-kanak, Sekolah dasar, SMP, SMA lalu tingkat Perguruan Tinggi.
Hal ini tentu sangat berbeda dengan sistem sekolah di negara-negara lainnya. Seperti Inggris misalnya dengan sekolah yang memfokuskan pada bidang studi yang dikuasai oleh anak-anaknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebutuhan penduduk Indonesia terhadap sekolah mulai meningkat, dari yang mayoritas penduduk Indonesia adalah lulusan sekolah dasar menjadi lulusan sekolah menengah atas, terbukti dengan program pemerintah yang dulunya hanya mewajibkan sekolah 6 tahun saja menjadi sekolah wajib 9 tahun bagi anak-anak Indonesia.
Selain itu semakin tinggi ia bersekolah maka semakin besar pula kesempatan ia mendapatkan pekerjaan dari perusahaan-perusahaan atau instansi terkait, sehingga sebagian besar orangtua di Indonesia menyekolahkan anaknya sampai jenjang yang lebih tinggi darinya agar ia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dari orang tuanya.
Merujuk pada tujuan didirikannya sekolah-sekolah yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, hal ini sangat sesuai dengan pembukaan UUD 1945 alinea ke-4. Namun jika kita kembali melihat sejarah peradaban dan konteks yang terjadi masa kini khususnya bagi bangsa Indonesia yaitu tentang perbedaan tujuan mengapa anak-anak harus bersekolah hingga jenjang yang lebih tinggi.
Perbedaan orientasi antara pendidikan di Indonesia dan di negara negara maju sangatlah berbeda. Jepang misalnya, ketika anak-anak bersekolah maka hal yang difokuskan pada mereka yaitu tentang ilmu yang akan ia dapat, sehingga kegiatan pembelajaran adalah suatu hal yang menarik dan menyenangkan.
Sedangkan di Indonesia sendiri, ketika anak lulus SMA atau SMK maka memilih melanjutkan bekerja mempunyai presentase yang lebih besar dari pada mendalami keilmuannya lebih lanjut. Seakan-akan sekolah sampai tingkat SMA adalah perantara untuk mendapatkan pekerjaan.
Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Tidak dipungkiri jika seorang anak sudah lulus sekolah atau putus sekolah di pertengahan jalan dan mulai bekerja maka jelas hal ini akan sangat membantu perekonomian keluarga. Lalu apakah ini sebenarnya tujuan sekolah di Indonesia? Apakah hanya sekedar menamatkan sekolah jenjang atas untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dari orangtuanya?
Memang manusia membutuhkan penghidupan yang layak, tapi orientasi adanya sekolah sesungguhnya bukan untuk mencetak para pekerja. Tingginya angka penduduk usia kerja hanya akan menjadi bonus (
window of opportunity) apabila penyediaan kesempatan kerja sudah sesuai dengan jumlah penduduk usia kerja serta ditopang oleh kualitas angkatan kerja yang baik.
Jika kita berkaca pada sejarah peradaban Abbasiyyah di masa Sultan Harun Ar-Rasyid, bahwasanya ia mendirikan
baytul hikmah, pusat pengembangan ilmu di Baghdad tidak lain untuk pengembangan ilmu itu sendiri, bukan agar para penduduknya mampu mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Berbagai penemuan hebat ditemukan pada zaman itu karena orientasi saat itu adalah untuk ilmu. Karena tujuannya untuk ilmu itulah maka produk yang dihasilkan adalah berbagai bidaan keilmuan yang berkembang sangat pesat.
Di Indonesia sendiri motivasi tentang keilmuan masih cukup kurang, seolah-olah sekolah hanya formalitas dan kewajiban sebagai anak usia 6-20 tahun. Anak-anak berangkat sekolah pagi-pagi tetapi ketika sampai di sekolah bukan ilmu yang ada dibenak mereka, melainkan gadget yang sedang digenggamnya, pelarian dari rumah karena ancaman orangtua, ataupun demi mendapatkan uang saku dan tidak dibilang sebagai pengangguran.
Padahal ketika sampai di sekolah pun mayoritas dari mereka sama halnya seperti pengangguran. Badan dan jasad mereka ada di sekolah tapi pikiran mereka tidak berada di situ, sehingga yang terjadi seberapa kerasnya guru mengajar hanya beberapa persen ilmu yang bisa ia serap.
Karena pada faktanya mayoritas dari anak usia sekolah ketika di tanya tentang kelanjutan studinya jawaban mereka adalah menuju bekerja. Hal yang tak jauh berbeda juga terjadi pada mahasiswa perguruan tinggi, ketika pertanyaan dilontarkan mau dikemanakan ilmunya, maka jawaban mayoritas adalah mendapatkan pekerjaan yang layak. Karena itulah ilmu yang anak-anak dapatkan akan tersimpan saat di bangku sekolah saja, bahkan di bangku sekolah pun banyak yang tidak mendapatkan apa-apa, karena yang ada di benak mereka adalah sekolah, lulus, dan bekerja sehingga mendapatkan uang.
Karena orientasi sekolah tidak kepada ilmu inilah yang menyebabkan banyaknya sarjana pengangguran dan para buruh-buruh pabrik yang terlahir dari anak-anak Indonesia. Padahal ketika kita bersekolah dan orientasi kita kepada ilmu, bukan hanya sebatas formalitas, maka bukan kita yang mencari pekerjaan, tapi pekerjaanlah yang akan mencari kita.
Sehingga paradigma tentang sekolah pencetak pekerja harus segera diubah dari pikiran anak-anak Indonesia dan praktisi-praktisi pendidikan. Karena ilmulah yang membuat manusia menjadi mulia di hadapan sesama dan Tuhannya, bukan akan menjadi apa kelak ia dari ilmunya.