Jakarta, CNN Indonesia -- Persoalan krusial bangsa ini adalah sejak dahulu adalah menjaga harmoni sosial di tengah heterogenitas suku dan agama. Selalu saja terjadi konflik-konflik yang bermula dari primordialisme dan etnosentrisme yang dipegang kukuh oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, usaha integrasi sosial sudah dirancang sejak dahulu pula.
Menurut Naupal (Dalam Bikhu, 2010) ada dua macam faktor mengapa integrasi masyarakat semacam itu bisa terjadi di tengah heterogenitas masyarakat kita dahulu. Pertama, karena pemahaman gagasan nasionalisme oleh para pemimpin pergerakan dalam usahanya membakar semangat juang untuk melawan penjajah. Perasaan senasib dan seperjuangan untuk melawan musuh bersama (
common enemy) membuat pejuang lupa latar belakang mereka. Cita-cita tentang kemerdekaan mengalahkan sekat-sekat kesukuan dan daerah.
Faktor yang kedua adalah agama, secara khusus Naupal menyebut agama Islam. Kedudukan agama Islam sebagai agama mayoritas diakui sebagai faktor pemersatu masyarakat yang multikultural dari berbagai daerah. Agama Islam diakui ikut berkontribusi sebagai agen dari adanya gagasan mulltikuturalisme karena doktrin besar mengenai prinsip persamaan dalam Agama Islam adalah bahwa manusia pada hakikatnya adalah sama, hanya ketakwaanya yang membedakannya di hadapan Tuhan. Ketertarikan masyarakat dahulu terhadap agama ini juga dilatar belakangi oleh adanya doktrin dalam Islam yang memberangus kasta-kasta dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Parekh (2010) mengemukakan bahwa multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan sebuah cara pandang dalam kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa esensi mendasar tentang perilaku multikulturalisme adalah saling mengerti dan saling memahami antar-sesama manusia.
Adapun proses untuk membangun pengertian dan pemahaman tersebut dapat dimulai dari penciptaan kohesivitas dan inklusi sosial dalam bentuk transfer pengetahuan dengan cara membangun komunikasi efektif dengan individu dan kelompok yang berbeda latar belakang. Oleh karena itu, pendidikan menjadi penting sebagai wahana pengetahuan untuk mewujudkan kohesivitas dan inklusi sosial dalam bentuk penciptaan rasa nyaman dan tentram. Rasa nyaman dan tentram yang dimaksud adalah suasana tanpa kecemasan, tanpa mekanisme pertahanan diri dalam pengalaman dan perjumpaan antar budaya.
Proses untuk menanamkan nilai-nilai tersebut dalam pendidikan multikultural dapat ditempuh melalui jalur pendidikan dan pengajaran di dalam keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan agama dan pendidikan umum. Dalam hal ini, Suharjo (2014) sudah mengungkap bagaimana peran lembaga pendidikan sebagai wahana pendidikan multikulturalisme. Hasil risetnya menunjukkan adanya semacam prinsip yang berfungsi sebagai alat pemersatu di tengah diferensiasi sosial (agama dan ras) dalam sebuah lingkup pendidikan.
Prinsip yang disebut Suharjo sebagai “Rumah Bersama” menjadi contoh penting dalam menumbuhkan sikap toleransi di antara siswa. Dalam prinsip ini, semua siswa diperlakukan sebagai anggota keluarga dekat dalam pergaulan dengan sivitas akademika lainnya. Prinsip “Rumah Bersama” ini seperti
melting pot, tempat semua perbedaan ras, suku, agama, dan lainnya dilebur menjadi satu identitas tunggal sebagai saudara laki-laki dan saudara perempuan.
Suharjo juga mengindikasikan, bahwa religiusitas juga menjadi salah satu instrumentasi penting penerapan nilai universalitas agama mengenai tenggang rasa, toleransi, maupun perdamaian untuk menjaga semangat multikulturalisme dan memperkuat persaudaraan di antara para siswa.
Secara esensial, Bank (1993) menjelaskan bahwa terdapat lima dimensi dalam pendidikan multikultural. Pertama, adanya integrasi pendidikan dalam kurikulum (
content integration) yang di dalamnya melibatkan keragaman dalam satu kultur pendidikan yang bertujuan untuk menghapus prasangka. Kedua, konstruksi ilmu pengetahuan (
knowledge construction) yang diwujudkan dengan mengetahui dan memahami secara komprehensif keragaman yang ada. Ketiga, pengurangan prasangka (
prejudice reduction) yang lahir dari interaksi antarkeragaman dalam kultur pendidikan. Keempat, pedagogik kesetaraan manusia (
equity pedagogy) yang memberi ruang dan kesempatan yang sama kepada setiap elemen yang beragam. Kelima, pemberdayaan kebudayaan sekolah (
empowering school culture), yaitu bahwa sekolah adalah elemen pengentas sosial dari struktur masyarakat yang timpang ke struktur masyarakat yang berkeadilan.
Pendidikan multikultural sebagai gerakan yang dimaksudkan dalam pendidikan model ini menawarkan ide progresif untuk melakukan transformasi pendidikan secara holistik, memberikan kritik, dan menunjukkan kelemahan-kelemahan, kegagalan-kegagalan dan diskriminasi yang terjadi di dunia pendidikan kita.
Dalam praktik pendidikan kita hari ini, realita justru menunjukkan bahwa terjadi ketidak-beresan dalam mengembangkan budaya multikultural di sekolah. Seringkali sekolah justru menjadi agen bagi penyeragaman budaya. Kearifan dan keragaman budaya yang niscaya dalam masyarakat justru dilibas habis.
Misalnya ada sekolah yang memaksakan seluruh siswinya untuk mengenakan jilbab, tidak peduli apakah ada siswi yang berbeda agama atau tidak. Ada juga sekolah yang memberikan perlakuan khusus berdasarkan tingkat ekonomi dan kecerdasannya.
Kebijakan-kebijakan tersebut bila dibiarkan akan memberi dampak psikologis yang serius bagi para siswa. Sebagaian siswa akan ada yang merasa inferior dan akan ada yang merasa superior dibandingkan yang lainnya. Stigmatisasi dan perasaan semacam ini jika dibiarkan saja, akan menimbulkan kecurigaan Pada akhirnya, perasaan saling curiga tersebut suatu saat bisa saja meletup menjadi konflik pada aras realitas jika terdapat momentum yang mendukungnya.
Kita berharap bahwa keberagaman yang ada saat ini tidak menjadi bala bencana yang mengancam eksistensi kebersatuan bernegara kita. Lembaga pendidikan baik formal maupun informal, yang notabene merupakan wahana penyemai sikap toleran sudah selayaknya mengambil bagian dalam mengembangkan wacana pendidikan berbasis multikulturalisme ini untuk mewujudkan cita-cita harmoni sosial dan mencegah diintegrasi bangsa. Semoga.