Riwayat Pelabuhan dan Bandar di Indonesia

CNN Indonesia
Rabu, 25 Okt 2017 11:26 WIB
Mempelajari sejarah pelabuhan dan bandar akan membuatmu memahami potensi kelautan di Indonesia.
Aktivitas di Pelabuhan Sunda Kelapa pada masa kini. (Foto: CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelabuhan dapat diartikan sebagai tempat kapal berlabuh dari pelayarannya. Pelabuhan juga menjadi tempat aman bagi kapal untuk terlindung dari ombak besar, angin, dan arus yang kuat.

Sungai merupakan salah satu tempat yang baik bagi pelabuhan berada, namun karena lebar sungai yang terkadang tidak sesuai dengan kapal yang hendak berlabuh, maka ada juga pelabuhan yang dibuat di teluk, meskipun kurang terlindungi seperti di sungai (Lapian, 2008:95).

Sedangkan bandar merupakan pengertian lain dari pelabuhan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bandar berarti "kota pelabuhan, kota perdagangan". Tentu keberadaan bandar sangat berperan penting dalam menunjang aspek perekonomian di sebuah pelabuhan. Keberadaan pelabuhan sendiri merupakan sebuah wujud pentingnya transportasi antar wilayah yang dipisahkan oleh lautan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada 1511, Malaka jatuh ke tangan Portugis. Para pedagang Melayu yang enggan berurusan dengan Portugis harus mencari jalan pelayaran lain guna mencapai wilayah Timur Indonesia. Maka, melalui pantai Barat Sumateralah jalur pelayaran baru itu terbentuk.

Semakin berkembangnya jalur pelayaran itu, membuat berkembang pula pelabuhan di pantai Utara Jawa. Pelabuhan-pelabuhan di pantai Utara Jawa itu di antaranya ada di Banten, Jepara, dan Gresik.

Pelabuhan utama di wilayah Timur Indonesia ada di Makassar, yakni pelabuhan Sombaopu. Pelabuhan tersebut kemudian diambil alih oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau Kongsi Dagang Belanda yang pada 1611 mulai membentuk pusat pemerintahannya di Pulau Jawa. VOC harus bersaing dengan Gowa untuk mendapatkan pelabuhan dan benteng Sombaopu, hingga akhirnya VOC berhasil merebut benteng itu pada 1669 ditandai dengan Perjanjian Bongaya (Zuhdi, 2017:109).

Salah satu pelabuhan sekalgius bandar terkenal yang muncul akibat jalur pelayaran baru itu adalah Sunda Kelapa. Sunda Kelapa menjadi bukti bahwa pelabuhan dan bandar merupakan faktor penting sebagai sebuah sarana transportasi dan kota perdagangan.

Sunda Kelapa merupakan sebuah bandar yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Hal tersebut sangat cocok, sebab Sunda Kelapa terletak di pesisir Utara Laut Jawa yang strategis untuk wilayah pelayaran dan perdagangan. Sunda Kelapa didaulat sebagai bandar terpenting milik Kerajaan Sunda.

Banyak komoditas yang disalurkan melalui bandar ini, seperti beras dan lada. Selain itu, Sunda Kelapa juga memiliki hubungan dagang yang luas meliputi Palembang, Lawe, Madura, Makassar, hingga Maluku. Para saudagar yang berdatangan ke Sunda Kelapa pun banyak dari Malaka, India, Cina, Arab, hingga Portugis, yang menyebabkan Sunda Kelapa berkembang menjadi bandar yang aman, tertib, dan teratur (Ongkodharma dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995).

Pada 1527, wilayah Banten Girang yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda diserang oleh kekuasaan Islam Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati beserta putranya, Hasanuddin. Jatuhnya Banten Girang ke tangan Cirebon membuat Sunda Kelapa mengalami kemunduran (Djajadiningrat, 1983:125).

Wilayah Banten Girang pun berubah menjadi Kesultanan Banten. Pengembangan Sunda Kelapa menjadi terabaikan, sehingga bandar Banten yang sebelumnya merupakan bandar yang sama-sama berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, justru berkembang pesat karena bandar Banten menjadi lokasi baru pusat pemerintahan Kesultanan Banten. Bandar Banten dikunjungi oleh banyak pedagang, seperti pedagang Arab, China, Gujarat, Inggris, Prancis, Persia, hingga Turki. (Ongkodharma dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995).

Hal lain yang dapat terjadi di pelabuhan dan bandar adalah interaksi budaya. Berbagai orang yang datang dari bermacam-macam wilayah saling bertemu dan berinteraksi, baik pribumi maupun asing, sehingga sangat mungkin terjadi akulturasi. Bandar dan pelabuhan dapat terbentuk juga atas campur tangan para pendatang.

Para pendatang inilah yang membuat suasana perdagangan di bandar menjadi hidup. Prof. Adrian B. Lapian menyebutkan bahwa pelabuhan harus memiliki daya tarik yang besar bagi kapal-kapal dari luar agar mau berlabuh. Daya tarik yang besar itu dapat berupa pasar yang ramai akan hasil hutan dan bahan makanan serta minuman juga tersedia untuk dikonsumsi di kapal bagi pelayaran selanjutnya. Seperti pada abad ke-17, banyak kapal ingin berlabuh di pelabuhan Aceh meskipun dengan susah payah. Hal itu karena pelabuhan Aceh merupakan bandar utama bagi perdagangan dan pelayaran di bagian Utara Sumatera. Hal ini yang harus dilakukan oleh pemerintah saat ini, yaitu membuat daya tarik bagi pelabuhan dan bandar yang ada.

Mempelajari sejarah pelabuhan dan bandar merupakan langkah yang strategis untuk memahami potensi kelautan Indonesia. Meskipun aspek yang dibicarakan adalah masa lalu, namun hal itu untuk kepentingan kehidupan masa kini, dan juga untuk merancang masa depan.

Komitmen dari pemerintah untuk membuat program dan kebijakan yang memanfaatkan kelautan Indonesia dan kesadaran dari masyarakat akan potensi kelautan kita adalah perpaduan yang pas untuk memulai pembangunan yang berbasis kelautan, sebab Indonesia adalah Tanah Air yang satu, maka bersama-sama kita wujudkan Indonesia yang sejahtera baik di darat maupun di laut.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER