Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus korupsi sepertinya tidak pernah lenyap dari pemberitaan di media massa. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus mulai dari pejabat, wakil-wakil rakyat hingga pemimpin daerah yang namanya mencuat ketika terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) serta keterkaitan dalam kasus penyalahgunaan wewenang.
Artinya korupsi telah terjadi dari tingkat yang terendah hingga teratas. Korupsi ini telah menjadi problematika yang berbahaya bagi kelangsungan bangsa dan negara.
Korupsi jika ditelaah secara bahasa berasal dari bahasa Latin yakni coruptio dan corruptus yang memiliki arti kerusakan. Selain itu dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia pada UU NO.31/1999 jo UU No.20/2001 bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu hal yang turut menyumbang keinginan korupsi di antaranya adalah upaya pemberantasan korupsi melalui hukum yang masih tergolong lemah. Serta adanya celah dalam sistem yang masih mudah ditembus oleh pelaku korupsi.
Selain itu juga tingkat konsumerisme yang tinggi turut menyumbangkan hasrat untuk korupsi. Konsumerisme ini juga salah satunya dipicu lewat ramainya tren penggunaan media sosial. Karena di samping sisi positif yakni hilangnya batasan ruang dan waktu dengan adanya media sosial juga terdapat sisi negatif yakni berupa meningkatnya tingkat konsumerisme dan konsumtif.
Salah satu sisi negatif yang dapat muncul di antaranya adalah meningkatnya tingkat konsumerisme. Hal ini dapat timbul ketika hasrat untuk mengkonsumsi yang berlebihan, bahkan hingga taraf yang tidak bisa lepas. Jika dahulu sifat konsumerisme ini lebih besar disumbangkan melalui iklan media dan televisi, pada masa sekarang ini media sosial turut menyumbangkan faktor yang besar.
Media sosial yang saat ini digunakan sebagai media berbagi merupakan celah yang terbuka lebar dalam meningkatkan hasrat konsumerisme dan konsumtif. Di antaranya melalui program endorsement yang telah lama berkembang di media sosial.
Endorsement merupakan sistem barter bagi pemilik produk untuk dapat mengiklankan produknya di halaman profil pengguna media sosial. Biasanya yang dituju oleh pemilik produk ini adalah pengguna dengan jumlah follower sangat banyak, dikenal di masyarakat pengguna media sosial dan atau memiliki konten yang menarik sehingga anggapan pemilik produk dapat mencapai sasaran promosi ke konsumen.
Dahulu upah yang diberikan oleh pemilik produk hanya dengan memberikan produk tersebut secara cuma-cuma untuk dapat dipromosikan oleh pemilih akun terkemuka tersebut. Akan tetapi belakangan selain produk gratis, para selebgram (selebritis instagram) juga mematok tarif khusus bagi para pemilik produk yang ingin mengiklankan produknya.
Tarif ini beragam mulai dari beberapa puluh ribu, hingga puluhan juta rupiah yang dipatok oleh para artis yang telah lama malang-melintang di dunia hiburan.
Endorsement ini selain memberikan dampak positif berupa sarana promosi oleh pemilih produk juga memiliki dampak yang harus diwaspadai oleh pengguna media sosial. Karena secara tidak langsung memberikan efek untuk merayu para pengguna untuk tertarik membeli banyak barang.
Padahal bisa jadi barang itu bukanlah barang yang dibutuhkan atau hanya tergiur pada artis favorit yang “seolah-olah” menggunakan barang tersebut. Padahal bisa jadi begitu selesai berfoto, barang itu tidak akan pernah disentuh lagi karena saking banyaknya produk yang mereka terima.
Selain endorsement hal lain yang patut diwaspadai adalah gaya hidup mewah yang diusung oleh kebanyakan pengguna media sosial. Dalam media sosial hampir semua orang hidup bermewah-mewahan dengan gaya hidup jetset.
Sangat jarang kita temukan pengguna media sosial mengunggah kehidupannya dalam fase yang buruk. Sehingga seolah-olah hidup dari selebrita media sosial ini begitu indah tanpa cela. Ditunjang lagi dengan banyaknya endorsement yang mereka terima.
Keindahan “semu” yang ditawarkan media sosial ini secara sadar atau tidak telah banyak mengubah pemikiran seseorang dalam memilih gaya hidup. Menginginkan barang ini itu tanpa kesadaran yang logis apakah barang tersebut benar-benar dibutuhkan atau tidak.
Termasuk ketika melihat pengguna media sosial yang memamerkan perjalanan ke luar negeri. Kondisi serba mewah ini akan memberikan tambahan tekanan. Padahal barang-barang mewah serta perjalanan luar negeri itu kita tidak tahu pasti apakah benar dimiliki oleh pribadi yang mengunggahnya.
Boleh jadi barang tersebut hasil sewaan. Kita tidak pernah bisa mengetahui secara pasti. Sementara sifat dasar manusia adalah tidak pernah puas.
Oleh karena itu hendaknya kita sebagai pengguna media sosial lebih berhati-hati. Berhati-hati dalam mengunggah konten yang berpengaruh pada tingkat konsumerisme dan konsumtif. Serta berhati-hati dalam menyaring nilai konten yang kita terima sehari-hari. Hendaknya jangan pernah muncul ungkapan “Besar pasak daripada tiang”.
(ded/ded)