RESENSI BUKU: Estetika Gestur-Gestur Kecil ala Dea Anugrah

Deddy Sinaga | CNN Indonesia
Rabu, 31 Jan 2018 13:58 WIB
Dea Anugrah seolah tidak sengaja membuat ceritanya jadi vulgar.
Ilustrasi (Foto: Picjumbo/Viktor Hanacek)
Jakarta, CNN Indonesia -- Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek pertama Dea Anugrah. Sampulnya memang satwa laut tapi di dalamnya lebih daripada itu.

Saya pikir, ubur-ubur di sampulnya juga bermakna cumi campur rumput yang merepresentasi cerita-cerita di dalamnya bahwa idenya lahir dari kombinasi realitas dan surealisme, diikuti teknik cerita ala Dea Anugrah.

Dalam sinopsisnya di sampul belakang tertulis:
Rik, temanku, adalah penulis yang bagus dan manusia yang baik tapi tolol. Ia adalah penulis yang bagus dan manusia yang baik tetapi tolol dan akhirnya mati karena paru-parunya berair. Ia adalah penulis yang bagus dan manusia yang baik tetapi tolol dan akhirnya mati karena paru-parunya berair, dua tahun lebih cepat dari perkiraanku. Ia adalah penulis yang bagus dan manusia yang baik tetapi tolol dan akhirnya mati karena paru-parunya berair, dua tahun lebih cepat dari perkiraanku, tanpa pernah dipedulikan orang. (Kisan Sedih Kontemporer XXIV)

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam kumpulan cerita pendek pertamanya ini, Dea Anugrah memperkerjakan seorang juru kisah yang cerewet, sok tahu, sinis, dan kadang tak patut dipercaya. Sang narator membingkai pelbagai momen dalam hidup, mulai dari masalah rumah tangga hingga situasi hidup-mati dalam perang, dan mengizikan pembaca ikut menyaksikannya. Ada kesan bahwa ia menggunakan bermacam-macam teknik penceritaan hanya untuk menyenangkan dirinya sendiri. Ia tidak berusaha kelewat keras buat menjerat pembaca, namun karena itu suaranya justru jadi memikat.

Saya menyukai cerita pendek dengan keringkasannya serta tak ada tuntutan bagi saya untuk ikut berlelah-lelah mengikuti setiap milidetik waktu dari karakter yang ada. Cerita-cerita pendek milik Dea Anugrah dalam buku ini menyodorkan karakter penuh masalah dalam sekejap tanpa membuat saya lelah, malah ingin merenunginya.

Teknik penceritaan yang berganti-ganti tiap cerita membuat saya ingin terus membaca. Kisah awal buku ini yakni cerita yang berjudul Kemurkaan Pemuda E. Kemarahannya digambarkan secara eksplisit lewat gestur-gestur kecil Pemuda E seperti ketika membuka toples acar.

Cerita-cerita yang bagi saya memiliki kesamaan premis, terbagi atas empat kategori. Kategori pertama yakni cerita-cerita dengan judul Masalah Rumah Tangga, Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, Sebuah Cerita Sedih, Gempa Waktu, dan Omong Kosong Yang Harus Ada, dan Masalah Rumah.

Dari kategori pertama ini, cerita yang berkesan bagi saya sendiri adalah Masalah Rumah Tangga meski tak ada relevansi secara implisit karena saya belum berumah tangga. Cerita ini menceritakan tentang suami yang mengeluh terus menerus akan hal kecil seperti saat tulisannya tentang orang yang dijahit mulutnya tidak selesai dan ia marah karena penerbit di mana-mana menolak tulisannya.

Rupanya ia kena impotensi, lalu menyamarkan keresahannya lewat gesturnya pada orang sekitarnya. Benang utama dari cerita pendek ini sebenarnya tersurat pada kalimat: “Jadi, menurutmu, bantuan apa yang bisa kita berikan kepada orang dewasa yang tidak sanggup menyelesaikan masalanya, sementara kita sendiri tidak tahu apa-apa mengenai hal tersebut?” dan jawabannya tersirat di akhir cerita.

Selanjutnya ketegori kedua ada dalam cerita pendek berjudul Kisan Afonso, Penembak Jitu, dan Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu. Tiga cerita ini membuat saya bergidik dengan pengemasan ide Dea Anugrah. Namun, yang paling berkesan adalah Anjing Menggonggong Kafilah Berlalu. Ia menceritakan kedekatan seorang wartawan dan narasumbernya.

Lagi lagi, saya terpesona bagaimana Dea Anugrah bercerita dengan gestur-gestur kecil karakter-karakternya. Khusunya saat sang narasumber menunjuk foto mantan istrinya pada sang wartawan, namun wartawan itu hanya diam sambil bimbang harus bereaksi seperti apa. Normalnya, menurut saya, ia sebagai wartawan yang ‘gemar bertanya’ tapi Dea Anugrah menunjuk kedekatan itu dengan wartawan yang diam karena ingin bersikap hati-hati.

Selanjutnya adalah ketegori ketiga. Semua ceritanya punya judul yang sama, yakni Kisah Sedih Kontemporer dengan tambahan angka yakni IV, XII, XXIV, dan IX. Empat cerita dengan ‘nomor seri’nya masing-masing menceritakan tentang harta gono-gini dan hak asuh anak dalam rumah tangga. Semuanya dibiarkan tak beraturan, seperti orang mabuk yang limbung ke sana ke mari. Pembaca bebas berinterpretasi atasnya.

Bagi saya, Kisah Sedih Kontemporer IV menarik. Kemasan ceritanya hanya berupa percakapan tanpa tahu siapa sebenarnya yang bercakap-cakap. Dea Anugrah sebenarnya sudah membangun cerita dengan keterangan di awal bahwa percakapan itu adalah isi rekaman orangtua I Gusti Putu Lokomotif alias Loko. Saya suka bagaimana saya dapat melihat Dea Anugrah menunjuk tentang egois dalam percakapan itu.

Dan terakhir adalah kategori wejangan. Dea Anugrah jadi penulis yang memberi wejangan dengan judul-judul yang merepresentasinya. Cerita-cerita pendek yang dirangkum dalam karakter santri adalah Kisah dan Pedoman, Perbedaan Baik dan Buruk, dan Tamasya Pencegah Bunuh Diri. Saya sendiri suka cerita yang judulnya Kisah dan Pedoman tentang penderita ayan yang tengah mendengar cerita pedagang karpet.

Wejangan Dea Anugrah ditulis secara tersirat di sini, bahwa perpecahan kadang bagus juga karena perbedaannya. Namun premis utama dari cerita ini bagi saya adalah kata-kata pedagang karpet bahwa peninggalan dari dua daerah hasil perpecahan tidak dapat ditemukan peninggalannya di mana-mana selain di sini dan di sini—yang mana pedagang tersebut menunjuk kening untuk ‘di sini’ pertama dan ‘di sini’ kedua ditunjuknya dengan merentangkan dua tangan. Belum selesai pedagang karpet cerita, ayan menyergapnya.

Secara keseluruhan, Dea Anugrah membawa saya ke sudut-sudut pikiran tentang hal kecil dalam kehidupan yang kadang sepele namun bermakna. Ini juga didukung dengan teknik penceritaan Dea Anugrah yang membawa gestur-gestur sepele itu jadi indah dengan penuturannya. Dalam buku ini, ia seolah tak peduli dengan nilai-nilai dan atau moral kebanyakan orang di masyarakat konservatif yang dibawa pembacanya. Ia menggunakan diksi keras seperti ‘bajingan’ bahkan ‘memek’ entah secara implisit atau cara pendeskripsiannya.

Tapi kalau dibandingkan dengan novel dengan kevulgaran seperti buku Kumpulan Budak Setan karya Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad, saya kira tidak sama. Kumpulan Budak Setan memang bernafaskan novel stensilan sehingga menurut saya justru menghidupkan kembali kevulgaran itu. Sedangkan Dea Anugrah seolah ‘tidak sengaja’ membuat ceritanya jadi vulgar.

Kumpulan Budak Setan pun merupakan buku kumpulan cerita pendek. Perbedaan dari Bakat Menggonggong adalah Kumpulan Budak Setan selain membangkitkan novel stensilan kembali juga menggarisbawahi bahwa mitos-mitos tentang hantu di Indonesia masih lazim.

Selain ‘tak sengaja’ jadi vulgar, menurut saya Bakat Menggonggong juga seolah tak peduli dengan kaidah penulisan. Misal dengan banyak penggunaan kata ‘dan’ dalam satu kalimat. Hal ini mengingatkan saya juga akan novel terjemahan karya Ernest Hemingway yang berjudul Salju Kilimanjaro. Jeda baca sebagai pemenggal penting agar ceritanya jadi utuh dan bermakna.

Dea Anugrah tidak takut dengan teknik penceritaannya, seperti dalam Kisah Sedih Kontemporer XXIV yang dibuat seolah kalimatnya diulang-ulang. Hal ini juga saya saya temukan pada gaya penulisan salah satu cerita pendek Djenar Maesa Ayu pada bukunya Jangan Main-Main (Dengan Kelaminmu). Pengulangan ini sebenarnya membentuk irama dan bermakna kesan penegasan kembali dari apa yang mau disampaikan tokoh-tokoh dari cerita pendeknya.

Sekali lagi, secara keseluruhan Dea Anugrah adalah penulis yang patut diperhitungkan dengan teknik-teknik penceritaannya. Buku ini, menurut saya, cocok bagi orang-orang penikmat diksi yang tidak keberatan dengan kebebasan penulisnya berekspresi dan tidak cocok bagi orang-orang yang belum mampu menginterpretasi tanpa menghakimi.

Ide-ide kebanyakan dari cerita-cerita dalam buku ini ditelurkan dari realitas di masyarakat justru menonjolkan hal kecil yang bisa jadi besar. Buku ini harus dibaca dengan konsentrasi tinggi dan perenungan setelahnya. Ide, teknik bercerita, penuturan, dan diksi-diksinya memang bereferensi pada penulis-penulis besar namun di situ pula penulis membangun jati dirinya dan menjadikan buku ini nikmat dibaca.

Daftar Pustaka
Kurniawan, Eka. Pramaditha, Intan. Prasad, Ugoran. 2016. Kumpulan Budak Setan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Maesa Ayu, Djenar. 2007. Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hemingway, Ernest. 2002. Salju Kilimanjaro. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER