Jakarta, CNN Indonesia -- Jauh sebelum kemerdekaan, pesantren di Indonesia telah lama menjalankan sistem pendidikan moderen bagi masyarakat di zamannya. Bahkan jauh sebelum berdirinya perguruan tinggi seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung juga sekolah-sekolah dasar binaan pemerintah Belanda di Indonesia, kiai-kiai pesantren telah lebih dulu mendidik anak-anak Indonesia melalui sistem pendidikan 24 jam non-stop.
Pendidikan di pesantren ini dapat dikatakan moderen karena tidak hanya berorientasi kognitif namun juga psikomotorik dan afektif. Tentu, istilah-istilah ini tidak dikenal oleh para kiai dan pesantren kala itu. Yang mereka tahu hanya belajar, praktek, dan memberi tauladan yang baik.
Setelah Orde Baru berkuasa, peran pesantren dalam pendidikan cenderung terpinggirkan oleh gerak laku politik penguasa waktu itu. Pesantren hanya dianggap sebagai tempat belajar yang kumuh, jumud, dan tidak beroriantasi kompetitif. Hal ini diperparah dengan tidak diakuinya lulusan pesantren untuk melanjutkan perkuliahan di perguruan tinggi umum binaan pemerintah, kecuali alumninya mempunya ijazah yang disetarakan dengan sekolah-sekolah umum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah beberapa lama terjadi dikotomi pendidikan pesantren dan sekolah umum di Indonesia, pemerintah mulai kebingungan melihat maraknya problematika sosial, degradasi moral, rendahnya sikap nasionalisme, dan hilangnya nilai-nilai substansi dalam pendidikan di sekolah umum. Yang paling memprihatinkan tentu moral anak-anak sekolah umum yang kian hari kian merosot di zaman milenial ini.
Pemerintah melihat permasalahan ini sebagai sebuah kegagalan dalam sistem pendidikan formal selama ini. Beberapa model kurikulum pendidikan karakter pun diganti. Hingga puncaknya, pemerintah mengesahkan nilai-nilai penguatan karakter peserta didik di sekolah-sekolah umum. Urgensi pendidikan karakter ini rupanya sangat mendesak untuk diterapkan di sekolah-sekolah umum binaan kementrian pendidikan dan kebudayaan untuk menjaga nilai-nilai moral dalam dunia pendidikan.
Sementara itu, sudah mulai banyak kalangan yang mengakui bahwa alumni pesantren tidak dapat dipandang sebelah mata. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi tokoh nasional dan berkontribusi aktif dalam segala bidang dalam kenegaraan.
Bisa kita lihat di awal pembentukan negara Indonesia, ada K.H. Wahid Hasyim, pahlawan nasional, yang turut serta melahirkan konsep Negara Pancasila. Dalam bidang agama ada Prof. Mukti Ali yang pertama kali melahirkan konsep kerukunan dalam beragama. Di bidang kemanusiaan, ada K.H. Abdurrahman Wahid yang sangat gigih menjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam kemajemukan negara Indonesia.
Kesemuanya ini adalah alumni pesantren yang berwawasan luas tentang keindonesiaan dan telah teruji dari segi keilmuan. Di luar mereka tentu masih sangat banyak para alumni pesantren lainnya yang turut serta dengan keilmuan mereka mewarnai dan membangun Indonesia dalam kebhinnekaannya.
Lalu, apa yang membuat pesantren mampu melahirkan tokoh seperti mereka? Adakah hal yang perlu ditiru oleh lembaga pendidikan umum dari pesantren? Untuk dapat menjawab dua pertanyaan tersebut, mari kita lihat sistem pendidikan yang ada di pesantren.
Pertama adalah ta’lim (teaching and learning) Konsep ini merupakan syarat wajib dalam pembelajaran. Kiai wajib menguasai ilmu yang diajarkan kepada para santrinya di pesantren. Ilmu yang diajarkan tidak diperoleh dengan cara instan oleh kiai, apalagi dengan hanya berbekal ijazah formal. Kesungguhan untuk menguasai suatu ilmu bagi para kiai adalah melalui niat yang tulus dan ikhlas. Mereka tidak mengenal istilah upgrading dan sertifikasi layaknya di sekolah formal.
Ilmu yang diajarkan di pesantren pun pada dasarnya berhubungan erat dengan masyarakat sehingga wajar alumninya mudah berperan di tengah-tengah masyarakat.
Umumnya, cara mengajarkan ilmu ini lebih banyak menggunakan metode musyawarah yang dikenal dengan istilah, dalam dunia pendidikan formal,
student-centered learning (pembelajaran berpusat pada siswa).
Pendidikan di pesantren sebetulnya sudah moderen walau sebetulnya tidak menggunakan istilah-istilah moderen dalam konsep pembelajarannya. Metode musyawarah inilah yang membuat para santri leluasa untuk berpikir luas dan menerima banyak sudut pandang dalam suatu permasalahan.
Kedua adalah tadris (practicing)Istilah
learning by doing. Pada dasarnya sudah lama diimplementasikan dalam pendidikan pesantren. Ketika belajar tentang materi puasa, maka kiai mempraktekkannya dengan juga berpuasa. Ketika belajar materi shalat berjamaah, kiai juga mempraktekkannya. Dalam praktek inilah para santri betul-betul mengikuti kiai sebagai ‘role model’ dan akhirnya akan terbiasa melakukannya.
Banyak pakar pendidikan kontemporer yang sepakat bahwa guru harus bisa menjadi
role model bagi anak didiknya, baik dari segi keilmuan dan terlebih dalam bersikap. Apa yang anak didiknya lihat dari guru akan melekat dalam pikiran dan kemudian membentuk karakternya.
Pesantren yang unggul di bidang pengajaran bahasa asing, misalnya, telah menggunakan konsep tadris dalam sistem pendidikannya. Kita bisa melihat Pesantren Gontor yang unggul di bidang bahasa Arab, Inggris, dan kepemimpinan. Dalam pesantren ini, santri harus menggunakan bahasa asing 24 jam non-stop dan dilatih dalam berbagai macam kegiatan organisasi. Begitu pula pesantren lain dengan ciri khas keunggulannya.
Ketiga adalah ta’dib (discipline)Dalam konsep ini juga etrdapat role model dari kiai. Kedisiplinan dalam pesantren amat diutamakan. Tak jarang kita lihat banyaknya peraturan yang ada di pesantren. Bagi orang-orang yang belum paham, peraturan-peraturan tersebut terasa mengikat, dan memberatkan. Namun jangan salah, disiplin ketat lahir dari peraturan yang mengikat. Dalam kegiatan sehari-hari di pesantren dari bangun pagi jam 3 hingga tidur malam jam 11, santri sudah diatur sedemikian rupa dan harus menjalaninya selama masih berada di pesantren.
Kedisiplinan ini juga dilakukan oleh kiai sehingga santri merasa ada keadilan dan bisa meniru sikap kiai dalam menjalankannya. Yang menarik dari konsep ta’dib ini adalah timbulnya rasa malu dan sungkan dari para santri ketika melanggar peraturan. Rasa malu dan sungkan ini awalnya berasal dari faktor psikis yang tidak nyaman ketika diolok-olok atau dilihat oleh santri lainnya karena telah melanggar peraturan. Namun setelah itu rasa malu dan segan ini berubah menjadi rasa takut kepada Tuhan, bukan lagi kepada sesama manusia atau atasan.
Yang terakhir adalah konsep tarbiyah (educating) Konsep ini merupakan tahapan yang paling berat dan sulit untuk dilaksanakan. Seorang kiai yang sudah alim dalam hal keilmuan belum tentu mampu mendidik santrinya untuk menjadi manusia yang ‘mengenal Tuhannya’. Manusia yang telah mengenal Tuhannya akan juga dengan sendirinya mengenal nilai-nilai kemanusiaan dan memperjuangkannya dengan penuh keyakinan bahwa itu adalah amanah Tuhan untuk sesama manusia.
Keberhasilan konsep tarbiyah ini dilihat setelah para santri selesai menjalani pendidikan di pesantren yang rata-rata dilalui selama 4 hingga 7 tahun. Ada juga yang terus mengabdi seumur hidup. Namun juga banyak yang terjun di tengah-tengah masyarakat.
Dalam kaitannya dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, sudah banyak kiranya konsep-konsep lain yang menitik beratkan pendidikan pada ranah kognitif. Yang saat ini dibutuhkan dalam pendidikan kita adalah role model sempurna dari seorang pendidik dalam menanamkan karakter positif bagi anak didiknya di sekolah.
Di tengah arus globalisasi ini, di mana manusia semakin individualis dan materialis, maka pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai karakter sangatlah diperlukan. Dalam konteks ini, pesantren telah berhasil mendidik santrinya dengan nilai-nilai karakter tersebut. Sekarang tinggal kita, apakah merasa perlu meniru keberhasilan sistem tersebut, atau tidak?
(ded/ded)