Jakarta, CNN Indonesia -- Nilai tukar rupiah menuju posisi terendah selama tujuh bulan terakhir ke level Rp 12.120 per dolar Amerika Serikat. Kisaran nilai tukar tersebut sempat terjadi pada Februari 2014 dan memaksa Bank Indonesia harus mengintervensi rupiah agar volatilitasnya terjaga.
Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah kian melemah sepanjang September. Akhir pekan lalu, rupiah ditutup melemah ke posisi Rp 12.007 per dolar AS pasca putusan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh DPRD.
Nilai tukar dolar terus menguat dan Standard & Poor 500 Index turun menyusul keluarnya data ekonomi AS dengan prospek suku bunga yang lebih tinggi. Saham Asia melemah, dipimpin oleh jatuhnya index Hong Kong di tengah protes pro-demokrasi di ibu kota negara tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dian Ayu Yustina ekonom Bank Danamon menyatakan pelemahan nilai tukar yang terjadi belakangan ini lebih disebabkan oleh sentimen dari luar negeri. Pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat lebih cepat dari dugaan, sehingga investor asing yang semula menanamkan dana nya di Indonesia mulai kembali ke negara asalnya.
Menurut dia, isu Pilkada oleh DPRD tidak berdampak besar namun turut memicu sentimen negatif dari dalam negeri. Jika pemerintahan yang akan datang segera menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), diperkirakan sentimen positif kembali membuat rupiah menguat.
Melihat besarnya sentimen dari luar negeri, Dian menilai, sejatinya BI tak perlu jor-joran menghabiskan cadangan devisanya untuk mengintervensi rupiah. "Intervensinya harus terukur jadi lebih ke efek smoothing, BI jangan terlalu menahan rupiah untuk menguat," kata Dian, Senin (29/9).
Pelemahan nilai tukar rupiah diperkirakan masih berlanjut seiring menguatnya dolar AS. Sementara, kata Dian, penguatan nilai rupiah selama ini masih ditopang oleh hot money atau dana-dana asing yang masuk ke portofolio. "Jadi ketika negara asalnya mulai membaik, mereka pasti kembali untuk sementara," ujar dia.
Indonesia cenderung membutuhkan dolar lebih besar karena tingginya volume impor. Hal itu, menurut dia, harus segera diatasi salah satunya dengan menaikkan harga BBM. "Kalau harga BBM naik, kebutuhan dolar dengan sendirinya berkurang karena impor minyak menurun," ucapnya.