Jakarta, CNN Indonesia -- PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) terus berupaya menekan kerugian yang dialaminya sampai akhir tahun sesuai instruksi dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan. Salah satu caranya dengan meminta kepada pengelola bandara untuk mengubah pembayaran jasa
ground handling menjadi dalam uang rupiah, tidak lagi dalam dolar.
Ground handling merupakan pelayanan jasa pengangkutan di bandara sebelum keberangkatan maupun setelah kedatangan. Pelayanan tersebut meliputi layanan pengangkutan penumpang, bagasi, kargo, sampai menggerakkan pesawat menuju area parkir atau menuju landasan pacu.
Menurut Direktur Keuangan Garuda Indonesia Handrito Hardjono saat ini perusahaan sedang membuka diskusi dengan PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II selaku pengelola bandara komersial di Indonesia untuk mau menyetujui usulan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pendapatan Garuda itu sekitar 55 persen dalam bentuk rupiah, 45 persen sisanya berbentuk mata uang asing dari penjualan tiket penerbangan luar negeri ke Indonesia dan lain-lain. Sementara dari sisi biaya sebesar 70 persen kami bayarkan dalam bentuk dolar Amerika Serikat. Jadi usulan perubahan mata uang untuk
ground handling merupakan upaya untuk menekan itu," ujar Handrito ketika dihubungi CNN Indonesia, Senin (13/10).
Handrito menjelaskan saat ini kegiatan
ground handling Garuda dilayani oleh PT Gapura Angkasa, anak perusahaan yang sahamnya juga dimiliki oleh Angkasa Pura I sebesar 10 persen, Angkasa Pura II 32,25 persen, dan mayoritas 58,75 persen dimiliki Garuda. Sehingga perusahaan harus meminta izin para pemegang saham Gapura Angkasa untuk menyetujui usulan tersebut.
Rinaldo Aziz, Direktur Komersial Angkasa Pura II mengaku tidak setuju jika Gapura Angkasa mengakomodir permintaan perubahan mata uang pelayanan
ground handling hanya untuk satu maskapai. "Saat ini justru Kementerian Perhubungan mengundang pengelola bandara untuk membahas tarif Pelayanan Jasa Pendaratan, Penempatan, dan Penyimpanan Pesawat Udara (PJP4U). Karena ada instruksi dari Menteri Perhubungan untuk memakai mata uang rupiah untuk PJP4U. Namun sampai sekarang masih dibahas teknisnya, jadi belum berlaku," ujar Rinaldo.
Tri S. Sunoko, Direktur Utama Angkasa Pura II menambahkan secara prinsip perusahaan setuju jika maskapai Indonesia menggunakan mata uang rupiah untuk membayar jasa kebandarudaraan. "Namun kami meminta agar tarif-tarif tersebut dievaluasi dan disesuaikan dengan fluktuasi nilai tukarnya," kata Tri.
Sepanjang 2013 lalu, Angkasa Pura II membukukan pendapatan usaha sebesar Rp 4,2 triliun, naik 5,2 persen dibandingkan pendapatan usaha 2012 sebesar Rp 3,99 triliun. Kontribusi pendapatan terbesar berasal dari pendapatan aeronautika berupa jasa pelayanan penumpang, jasa pendaratan, pemakaian
counter, parkir pesawat, dan lain-lain sebesar Rp 2,79 triliun. Sementara pendapatan nonaeronautika berupa jasa konsesi, sewa ruangan, pemasangan reklame, parkir kendaraan, sewa tanah, dan lain-lain menyumbang Rp 1,31 triliun.
Sementara laporan keuangan semester I 2014 Garuda Indonesia menyebutkan biaya layanan
ground handling masuk ke dalam komponen biaya operasional penerbangan yang secara total meningkat menjadi US$ 1,19 miliar dari sebelumnya US$ 998,84 juta.