Tidak bisa dipungkiri Menteri Keuangan (Menkeu) adalah jabatan paling strategis dalam kabinet pemerintah di negara manapun. Posisinya yang sentral dalam mengatur uang yang keluar dan masuk dari dompet negara, membuat jabatan tersebut menjadi incaran banyak pihak.
Begitu pula di Indonesia. Satu bulan sebelum Presiden Joko Widodo menunjuk Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro sebagai Menkeu, sejumlah nama berkeliaran masuk dalam bursa pejabat untuk menggantikan posisi Chatib Basri tersebut.
Namun menjabat sebagai Menkeu juga berarti harus siap menanggung tanggung jawab yang besar. Salah-salah membuat kebijakan keuangan negara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu siap melakukan investigasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
CNN Indonesia mendapat kesempatan melakukan wawancara eksklusif mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Wakil Menkeu tersebut di kantornya kemarin (30/10). Untuk dapat mengenal lebih dekat dan mengetahui kebijakan apa saja yang akan dilakukan Bambang sebagai Menkeu, kami menyajikannya dalam tiga tulisan dengan topik berbeda.
Bapak pernah menjabat sebagai Kepala BKF, pernah jadi Wamenkeu, sekarang jadi Menkeu. Selain jabatannya meningkat, perubahan apa yang bapak rasakan paling signifikan?
Tentunya yang pasti berubah adalah tanggung jawab. Misalnya, ketika di eselon I sebagai Kepala BKF atau jadi Wakil Menteri, itu selalu ada atasan yang tentunya bisa ditanya dan akan mengambil tanggung jawab apabila keputusan diambil. Dari sisi menteri (pimpinannya) hanya presiden, yang tidak mungkin kita ganggu setiap saat atau setiap hari.
Sehingga praktis banyak keputusan yang harus diambil sendiri. Tentunya dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak dan yang paling penting saya harus sudah bisa mengeluarkan suatu peraturan. Jadi PMK yang harus ditandatangani oleh Menteri Keuangan. Itu yang tidak ada di level wakil menteri apalagi di eselon I.
Artinya kebijakan fiskal seharusnya tinggal melanjutkan, tapi apakah ada arahan lain dari Presiden atau amanat baru kepada bapak?
Begini, fiskal tinggal melanjutkan itu dalam konteks basic-nya. Fundamental kita tetap harus dijaga. Keberlangsungan anggaran harus dijaga. Itu jelas, harus dilakukan oleh siapapun Menkeunya, siapapun presidennya. Tetapi yang akan membdakan antara satu presiden dengan presiden yang lain adalah prioritasnya, pada programnya.
Presiden Joko Widodo meminta untuk memberikan perhatian lebih kepada kesejahteraan masyarakat dan itu harus diterjemahkan dalam kebijakan fiskal. Dalam bentuk apa? misalkan alokasi anggaran dalam bentuk bantuannya, subsidinya, belanjanya. Itu harus bisa terarah, terintegrasi sehingga bisa memperbaiki kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan dan sebagainya.itu yang membedakan periode yang sekarang dengan periode-periode sebelumnya. Karena setiap periode pasti punya arahan atau penekanan.
Begitu juga ketika infrastruktur perlu dibangun, infrastruktur seperti apa? Apakah infrastruktur khusus pertanian, apakah energi, apakah yang lain, infrastruktur dasar dan seterusnya. Nah ini juga harus diterjemahkan ke dalam kebijakan fiskal melalui alokasi anggaran maupun melalui insentif perpajakan.
Sudah tergambar fokus yang paling penting untuk 100 hari ke depan atau dalam jangka pendek?
Pertama, kita tidak mengenal program 100 hari. Setidaknya sampai hari ini kita tidak ada pembicaraan mengenai itu. Satu hal yang paling penting, dalam dua kali rapat kabinet presiden berulang kali menegaskan pentingnya meningkatkan produksi hasil pertanian dan perbaikan nasib petani. Salah satu yang didorong, misalnya, pengembangan infrastruktur khususnya irigasi. Tidak hanya bicara waduk yang besar, tapi juga bicara sampai ke jalurnya yang primer, sekunder, maupun tersier.
Instrumen fiskalnya apa?
Instrumen fiskal sudah pasti anggaran. Tapi yang paling penting menteri-menteri harus menterjemahkan visi dn misi presiden. Jadi tidak ada visi dan misi menteri, yang ada adalah menteri mengoperasionalkan visi presiden.
Kemudian, operasionalisasi dari visi presiden itu harus diterjemahkan dalam bentuk program, maupun proyek. Nah program proyek ini kemudian harus dihitung. Itu yang kemudian harus difasilitasi oleh Kemenkeu. Bagaimana kita dengan kondisi keuangan yang terbatas, bisa memberikan alokasi yang paling optimal.
(Bagian 1 dari 3).