Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak pemerintah mengoptimalkan penagihan piutang negara yang jumlahnya hampir Rp260 triliun. Hal ini bisa menjadi alternatif sumber pendanaan pembangunan, selain mengandalkan dana hasil penghematan pemangkasan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW Firdaus Ilyas menganggap kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan jalan pintas yang diambil Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk mendanai program-program andalannya.
Untuk itu, ICW menekankan agar pemerintah juga serius menyelesaikan permasalahan piutang negara yang jumlahnya cukup signifikan untuk membantu pendanaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Angka konkretnya adalah Rp259,8 triliun dan itu merupakan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) per 31 Desember 2013," kata Firdaus saat ditemui di kantornya, Kalibata, Rabu (19/11).
Menurut Firdaus, jumlah piutang negara mengalami peningkatan 16,7 persen dibandingkan dengan posisi tahun sebelumnya, yakni Rp222,5 triliun. Untuk itu, pemerintah harus memilih orang-orang yang tepat untuk memastikan piutang tersebut dibayar oleh para debitur.
"Pilih jaksa agung, kepala kepolisian, hingga direktur jenderal pajak yang memiliki keberanian untuk menagih piutang-piutang tersebut," kata Firdaus melanjutkan.
Data yang diperlihatkan ICW menunjukkan piutang paling banyak dibukukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, yakni menyentuh angka Rp77,3 triliun.
Diikuti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebesar Rp25,8 triliun, Kejaksaan Agung Rp13,2 triliun, Kementerian ESDM Rp11,6 triliun, Kementerian Kehutanan Rp2,3 triliun, Kementerian Komunikasi dan Informatika Rp3,2 triliun, dan Bendahara Umum Negara Rp115,5 triliun.
Firdaus menambahkan, piutang sebanyak itu idealnya selesai dalam tiga tahun jika kuasa pengguna anggaran memiliki keberanian menagih debitur. "Seberapa berani dan seberapa besar tekad mereka untuk menagih piutang tersebut akan menentukan cepat tidaknya bisa dilunasi."
Jumlah piutang negara tersebut berbanding terbalik dengan besarnya penarikan utang baru oleh pemerintah setiap tahunnya. Tahun ini saja, pemerintah menargetkan penarikan utang baru sebesar Rp241,49 triliun guna menambal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (2,4 persen PDB).
Defisit fiskal diperkirakan meningkat menjadi Rp245,9 triliun atau 2,2 persen PDB tahun depan, seiring meningkatnya target penerimaan dan kebutuhan belanja negara dalam APBN 2015.