Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) optimistis keputusannya menaikkan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 25 basis poin akan mampu menentramkan pasar keuangan. Kebijakan moneter tersebut diyakini bank sentral tidak akan memicu kenaikan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL).
"Kalau NPL bank kita sekarang ini relatif aman. Sekarang ini sekitar 2,1-2,2 persen. Tahun depan apalagi ekonomi mungkin akan lebih baik. Karena fundamental ekonomi kita lebih sehat. NPL mustinya kecenderungannya tidak akan banyak berubah," ujar Deputi Gubernur Senior BI Halim Alamsyah di Jakarta, Rabu, (19/11).
Menurut Halim, kenaikan BI rate menjadi 7,75 persen tidak akan membebani ongkos pembiayaan (
cost of fund) perbankan. Dia mencontohkan kenaikan BI rate yang lebih tinggi pada 2005, ketika harga BBM bersubsidi naik 100 persen, yang ternyata direspon positif oleh pasar."Tapi itu sudah bisa menentramkan pasar," ujar Halim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain tidak membebani
cost of fund, Halim juga meyakini kombinasi kebijakan fiskal dan moneter berupa kenaikan harga BBM bersubsidi dan BI rate akan menambah kepercayaan para pelaku pasar akan stabilitas perekonomian.
"Risiko fiskal sudah ditangani dengan baik oleh pemerintah. Malah pemerintah akan punya uang yang cukup besar. Sisa uang
saving dari subsidi sehingga hal ini kami yakin akan meningkatkan confidence pasar dengan respon dari BI, dari pemerintah, dan juga pasar," ujar Halim.
Chatib Basri, Ekonom Universitas Indonesia, menilai langkah bank sentral menaikan BI rate merupakan upaya untuk mengelola ekspektasi publik terhadap inflasi. Kebijakan ini juga dianggap sebagai langkah mitigasi awal terhadap dampak normalisasi sukui bunga acuan bank sentral Amerika Serikat pada tahun depan.
"Jadi kalau The Fed menaikkan suku bunganya, BI tidak perlu menaikkan BI rate secara drastis," katanya kepada CNN Indonesia.
Mantan Menteri Keuangan itu meyakini kenaikan BI rate sebesar 25 basis poin ke level 7,75 persen tidak akan membuat kondisi likuiditas terlampau ketat. Kebijakan ini sengaja diambil BI sekaligus untuk memperbaiki fundamental ekonomi, terutama dari sisi neraca transaksi berjalan.
"Kalau kredit perbankan turun memang seharusnya turun, karena itu memang by design. Kalau bank ekspansi malah salah," katanya.
Darisi sisi pertumbuhan ekonomi, kata Chatib, memang akan terjadi perlambatan dan itu terjadi hampir di seluruh negara. Indonesia dinilai lebih baik karena masih dapat tumbuh di kisaran 5 persen di tengah resesi sejumlah negara seperti Jepang dan Brasil. "Karena memang kondisi sekarang sedang tidak normal," katanya.
Bank Indonesia, kata Chatib, tampakjnya belajar dari keterlambatan bank sentral Turki dan Afrika Selatan dalam merespon gejolak ekonomi global pada 2013. Kedua bank sentral tersebut terpaksa harus menaikkan suku bunga acuan lebih dari 300 persen dan berdampak pada memburuknya ekonomi domestik.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad mengatakan kebijakan tersebut akan memberikan dampak terhadap kenaikan kredit macet. "Memang akan ada tekanan terhadap NPL, tapi ini hanya akan seasonal (musiman) saja," ujar Muliaman saat ditemui kemarin.
Potensi kenaikan NPL, kata Muliaman, terutama di sektor kredit mikro. Namun, fenomena tersebut hanya akan berdampak sebentar dan akan mulai normal kembali setelah tiga bulan. "Ada dampaknya tapi dia akan back to normal. Dan permintaan akan back to normal lagi. Sekitar tiga bulanan, enam bulan sudah normal," kata Muliaman.