Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Pembangunan Asia (ADB) meyakini rencana bank sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan suku bunga pada 2015 tidak akan berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Kendati demikian, risiko pembalikan modal tetap harus diwaspadai mengingat besarnya dominasi asing di pasar obligasi negara.
Edimon Ginting, Deputi Direktur ADB untuk Indonesia, mengatakan rencana The Fed melakukan normalisasi kebijakan suku bunga memiliki dampak yang berbeda-beda ke setiap negara. Khusus Indonesia, kata Edimon, sebagian potensi dampak dari rencana kebijakan itu sudah diantisipasi oleh pemerintah, antara lain dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
"Kalau menurut saya kondisi Indonesia lebih banyak positifnya. Banyak sekali
adjustment yang sudah dilakukan," katanya di Jakarta, Rabu (26/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Edimon, melebarnya ruang fiskal pasca-kenaikan BBM bersubsidi menjadi faktor penguat fundamental perekonomian Indonesia. Langkah strategis pemerintah ini diyakini akan meredam dampak negatif yang mungkin muncul dari pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam.
"Tapi memang ada negatifnya bahwa kita banyak
foreign ownership di
bonds. Jadi ini yang jadi utamanya harus diperhatikan," kata Edimon.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) mencatat investor asing mendominasi kepemilikan obligasi negara sebesar 37,8 persen. Nilai obligasi yang dipegang oleh asing per 31 Oktober 2014 sebesar RP 459,86 triliun, meningkat dibandingkan dengan posisi akhir bulan September yang sebesar Rp 447,37 triliun. Secara kumulatif, modal asing yang masuk ke pasar obligasi negara dalam 10 bulan terakhir sebesar Rp 136 triliun atau 42 persen dibandingkan dengan posisi Desember 2013.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) merilis data utang luar negeri per September 2014 yang tercatat sebesar US$ 292,3 miliar, naik 2,1 persen dibandingkan posisi akhir kuartal II 2014 sebesar US$ 286,2 miliar.
Dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya, posisi utang luar negeri meningkat US$ 29,4 miliar atau 11,2 persen. Peningkatan tersebut terutama disumbang oleh kenaikan pinjaman luar negeri sektor swasta. Posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir September 2014 terdiri dari sektor publik US$ 132,9 miliar (45,5 persen) dan swasta US$ 159,3 miliar (54,5 persen).
"Tapi saya yakin dari sekarang sampai 6 bulan ke depan, pemerintah kita akan banyak melakukan reformasi yang akan membuat investor tertarik. Ini pokoknya adalah yang paling mujarab untuk menghadapi sentimen negatif dari luar," kata Edimon Ginting.