Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia berencana menerbitkan obligasi berdenominasi yen (samurai bond) berjangka waktu 10 tahun pada tahun depan tanpa menggunakan jaminan dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC).
Robert Pakpahan, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang, mengatakan pengalaman Indonesia tiga kali menerbitkan samurai bond membuatnya yakin obligasi RI sudah cukup dikenal oleh investor Jepang. Karenanya, dia menilai tidak perlu lagi penjaminan dari JBIC pada samurai bond berikutnya.
"Ada studi mengatakan, tidak pakai
guarantee juga laku. Tapi jatuhnya memang lebih mahal," ujar Robert saat ditemui di Gedung Djuanda Kementerian Keuangan, Rabu (3/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagaimana diketahui, Samurai Bond adalah obligasi berdenominasi yen yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia atau swasta di pasar keuangan Jepang. Pemerintah telah tiga kali menerbitkan samurai bond menggunakan penjaminan dari JBIC, yakni pada 2009 sebesar 35 miliar yen dengan imbal hasil (yield) 2,73 persen, lalu pada 2010 senilai 60 miliar yen dengan yield 1,6 persen, dan terakhir pada 2012 sebesar 60 miliar yen dengan yield 1,13 persen.
Menurut Robert, kesuksesan Indonesia melakukan tiga kali lelang samurai bond mencerminkan meningkatnya kepercayaan investor Jepang atas pengelolaan utang Pemerintah Indonesia, terutama setelah dicapainya peringat layak investasi (
investment grade).
"Biasanya mereka hanya membeli
bonds dari negara yang
investment grade level tinggi. Indonesia kan
investment grade di level paling bawah, jadi buat mereka belum
acceptable sehingga selama ini menggunakan jaminan dari JBIC agar menarik," jelasnya.
Namun belakangan, lanjut Robert, JBIC merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menerbitkan samurai bond tanpa penjaminan guna melihat respon pasar Jepang. "Kalau yang bergaransi, kemungkinan besar kan pasti laku. Kalau nanti mereka lihat yang non-garansi laku juga,
yield-nya bagus, tahun berikutnya kita berani yang non-garansi lebih banyak," ujarnya.
Namun Robert mengatakan, untuk awal, Pemerintah hanya memberikan porsi sebesar
20 persen untuk obligasi non-garansi ini guna menghindari risiko gagal. "Takutnya kalau tidak pakai garansi dan gagal, tidak
acceptable," ujarnya