Jakarta, CNN Indonesia -- Terus turunnya harga minyak dunia dikhawatirkan pemerintah akan semakin mempersulit pengembangan produk minyak dan gas bumi (migas) non-konvensional seperti gas metana batubara (CBM) dan
shale gas. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Naryanto Wagimin menjelaskan hal tersebut bisa terjadi karena investor akan semakin ragu menanamkan uangnya untuk mengembangkan produksi dua produk energi alternatif tersebut.
“Jika harga minyak terus turun, investor akan berpikir ulang berpikir ulang untuk menanamkan uangnya di bisnis ini. Padahal pengembangan CBM di Indonesia saat ini sudah melambat,” ujar Naryanto dikutip dari situs resmi Ditjen Migas, Selasa (9/12).
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas tersebut mencatat, dari 54 kontrak kerjasama pengembangan CBM hanya sebagian saja yang masih terus dikembangkan oleh kontraktor. Sementara sisanya mati suri. Selain karena biaya investasi untuk memproduksi sangat mahal, proses untuk mengurus perizinan dikeluhkan oleh investor sehingga urung masuk ke sektor migas non-konvensional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rayu InvestorUntuk membuat pengembangan migas non-konvensional kembali menggeliat, pemerintah menurutnya siap memberikan insentif bagi perusahaan yang serius mengembangkan CBM dan
shale gas. Antara lain dengan mengubah kontrak yang menurut investor tidak menarik.
“Mereka yang tahu persis apa hambatan dalam pengembangan CBM dan
shale gas. Kalau mereka ingin ‘A”, ya kita ikutin,” kata Naryanto.
Terkait kendala perizinan, Pemerintah telah berkomitmen akan mempermudah perizinan dan diharapkan dapat diringkas menjadi hanya satu pintu saja.
CBM diproduksi dengan cara terlebih dahulu merekayasa batubara (sebagai
reservoir) untuk membuka ruang sebagai jalan keluar gasnya. Proses rekayasa diawali dengan memproduksi air (
dewatering) agar terjadi perubahan keseimbangan mekanika.
Setelah tekanan turun, gas batubara akan keluar dari matriks batubaranya. Gas metana kemudian akan mengalir melalui rekahan batubara (
cleat) dan akhirnya keluar menuju lubang sumur. Puncak produksi CBM bervariasi antara 2 sampai 7 tahun. Sedangkan periode penurunan produksi (
decline) lebih lambat dari gas alam konvensional.
Cadangan CBM Indonesia diperkirakan sebesar 453 TCF. CBM Indonesia berada di cekungan Sumatera Selatan (183 TCF), Barito (101,6 TCF), Kutei (89,4 TCF) dan Sumatera Tengah (52,5 TCF) untuk kategori
high prospective. Cekungan Tarakan Utara (17,5 TCF), Berau (8,4 TCF), Ombilin (0,5 TCF), Pasir/Asam-Asam (3,0 TCF) dan Jatibarang (0,8) memiliki kategori medium. Sedangkan cekungan Sulawesi (2,0 TCF) dan Bengkulu (3,6 TCF) berkategori
low prospective. (TW).