Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana penghapusan
cost recovery atau dana pengganti investasi kegiatan hulu minyak dan gas bumi (migas) kembali mengemuka. Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Johannes Widjanarko berpendapat penghapusan
cost recovery memiliki plus-minus terhadap prospek industri hulu migas nasional kedepan.
"
Cost recovery itu berlaku sebagai standar yang berlaku di dunia internasional. Kalau risiko geologi itu ketidakpastiannya tinggi, mungkin lebih baik PSC (
Production Sharing Contract). Tapi kalau risiko eksplorasinya rendah, sistem royalti dan pajak akan lebih baik," ujar Widjanarko di Jakarta, Kamis (11/12).
Meski begitu Widjanarko pun tak mempermasalahkan penghapusan
cost recovery yang diwacanakan akan diganti mekanisme royalti dan pajak. "Mau diberlakukan yang mana juga boleh. Kalaupun besaran
cost recovery-nya mau diatur atau ditetapkan besarannya ya silahkan saja. Sekarang khan masih 100 persen
cost recovery-nya dari PSC," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Cost recovery merupakan salah satu variabel pembayaran atas investasi yang dikucurkan kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) pada saat kegiatan eksplorasi dan produksinya di suatu lapangan migas. Dimana variabel tersebut termaktub di dalam kontrak bagi hasil (PSC) dengan pemerintah.
Kajian Tim Antimafia
Sebelumnya Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang juga Direktur Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Djoko Siswanto mengaku tengah mengkaji penghapusan
cost recovery dalam rangka pembenahan bisnis hulu migas. Djoko mengatakan, upaya ini dilakukan lantaran sistem
cost recovery menimbulkan potensi kerugian bagi negara.
"Kami sedang kaji agar skema PSC diubah ke sistem royalti dan pajak. Nanti akan ada rekomendasi," ungkap Djoko kemarin.
Djoko menjelaskan dengan penggunaan skema royalti dan pajak, setiap produksi migas yang dihasilkan oleh KKKS akan dibagi langsung ke negara dengan porsi yang disepakati sebelumnya. Dengan begitu, negara cukup mengawasi volume produksi migas dan tak perlu mengontrol biaya operasinya.
Selain itu dengan menggunakan mekanisme royalti dan pajak, KKKS tak perlu membuat rencana program pengembangan dan keuangan tahunan (
Work Program &
Budgeting/WP&B).
"Nantinya biaya operasi akan sepenuhnya menjadi tanggungan kontraktor dan tidak ada mekanisme dikembalikan lagi atau
cost recovery," tuturnya.
Meski begitu, penghapusan
cost recovery harus menunggu revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. "Harus diubah dulu Undang-Undangnya. Sekarang tinggal kemauan Pemerintah karena DPR sudah menyiapkan klausulnya sejak lima tahun lalu," ujar Ketua Komisi VII DPR Kardaya Warnika.