Jakarta, CNN Indonesia -- Mundurnya Emirsyah Satar dari kursi Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk tak menyurutkan rencana perseroan untuk menerbitkan surat utang atau obligasi. Emirsyah mengatakan, pada 2015 Garuda akan kembali menerbitkan obligasi berkelanjutan tahap II.
“Tidak mungkin tahun ini, karena sudah mau habis. Tahun depan akan diterbitkan,” ujar Emirsyah usai bertemu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno di Jakarta, Kamis (11/12).
Emirsyah menjelaskan penerbitan obligasi tersebut dilakukan untuk mendorong kinerja dan bisnis penerbangan Garuda kedepan. Meski begitu, dirinya enggan membeberkan besaran obligasi yang akan diterbitkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pengembangan bisnis Garuda akan ke domestik. Kita sudah tidak pikirkan pendanaan untuk pengadaan pesawat karena sudah
fix. Melainkan untuk melanjutkan program
quantum leap," terangnya.
Berdasarkan catatan, pada Juni 2013 silam Garuda sudah menerbitkan obligasi berkelanjutan tahap I dengan jumlah Rp 2 triliun. Obligasi ini memiliki kupon 8,25 persen sampai 9,25 persen dengan tenor 5 tahun. Dana dari hasil penerbitan obligasi dipakai untuk membayar uang muka 20 pesawat yang dibeli perseroan.
Cari US$ 100 JutaAwal Desember 2014, Direktur Keuangan Garuda Indonesia Handrito Hardjono mengaku perseroan tengah mencari pendanaan sebesar US$ 100 juta untuk memenuhi dana belanja modal tahun depan sebesar US$ 200 juta atau sekitar Rp 2,4 triliun.
Berbeda dengan pernyataan Emirsyah, justru Handrito menyebutkan sebagian besar belanja modal tahun depan digunakan untuk mendatangkan pesawat baik untuk digunakan oleh Garuda Indonesia maupun oleh anak usahanya di segmen
low cost carrier PT Citilink Indonesia.
“Kami akan mendatangkan 23 unit pesawat tahun depan dimana 18 untuk Garuda dan 5 unit untuk Citilink Indonesia. Pesawat baru nanti akan variatif dari yang besar hingga kelas ATR. Kita alokasikan belanja modal total US$ 200 juta dengan sumber pendanaan kombinasi internal dan eksternal,” ungkap Handrito.
Dia optimistis bisa memperoleh pinjaman, karena pada April dan Juni lalu Garuda melakukan pelunasan utang yang dipercepat kepada Citi Club Deal senilai US$ 210 juta dan kepada Export Credit Agency (ECA) sebesar US$ 62,5 juta.
Di saat maskapai lain menahan ekspansi menambah pesawat untuk menekan kerugian seperti yang dilakukan PT Indonesia AirAsia, kebijakan Garuda untuk tetap menambah jumlah pesawat tahun depan sangat mengherankan. Terlebih, pertumbuhan jumlah penumpang maskapai penerbangan belakangan ini tidak lagi setinggi beberapa tahun lalu.
Garuda pun tercatat mengalami krisis keuangan setelah masih mencatatkan kinerja yang buruk sampai September 2014. Maskapai
full service tersebut mengalami rugi sebesar US$ 219,54 juta sekitar Rp 2,65 triliun, atau 1.362 persen lebih besar dibandingka kerugian sampai September 2013 sebesar US$ 15,01 juta.
Pendapatan operasional yang diperoleh Garuda sebesar US$ 2.801,7 juta atau tumbuh 4,3 persen dibandingkan kuartal III 2013 menjadi tidak berarti karena tergerus biaya operasional yang membengkak akibat pembelian avtur, sewa pesawat, dan lain-lain.
Tambahan utang baru, baik melalui penerbitan obligasi maupun pinjaman langsung dari bank atau lembaga keuangan lain hanya akan menambah jumlah utang Garuda yang sampai September 2014 lalu berjumlah US$ 2,11 miliar. Terdiri dari utang jangka pendek US$ 1,03 miliar, dan utang jangka panjang US$ 1,08 miliar.