Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak Amerika Serikat (AS) menghentikan program stimulusnya (Quantitive Easing) di bulan Oktober lalu, data perekonomian negeri Paman Sam mulai menunjukan penguatan. Termasuk kiprah dolar AS yang semakin perkasa di pasar global sehingga membuat limbung mata uang banyak negara, tak terkecuali rupiah.
Setelah bergerak fluktuatif sepanjang perdagangan kemarin, Selasa (16/12), rupiah ditutup melemah di level Rp 12.725 per dolar AS. Mengutip data Reuters, sejak awal tahun Rupiah mengalami depresiasi sebesar 4,1 persen. Hal itu diikuti dengan pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang ditutup melemah 1,61 persen ke level 5.026.
Tekanan serupa juga dialami oleh Yuan Tiongkok sebesar 2,3 persen, dolar Singapura minus 3,9 persen, Ringgit Malaysia anjlok 6,7 persen, Baht Thailand negatif 0,7 persen, Won Korea turun 3,4 persen, Rubel Rusia sebesar 10,2 persen serta Yen Jepang yang mengalami pelemahan paling besar yakni sebesar 12,3 persen.
Penarikan modal dolar AS dari pasar dalam negeri menjadi pemicu anjloknya rupiah bersama mata uang lainnya di banyak negara. Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menyebut istilah ini sebagai fenomena ‘Dolar Pulang Kampung’.
“Ekspektasi hasil rapat The Fed 16-17 Desember memperkirakan perbaikan ekonomi AS menjadi lebih
bullish, ini yang akan membuat investasi di AS menjadi menarik,” kata Bambang kemarin, Selasa (16/12).
Selain karena sentimen ekonomi AS, Bambang mengungkapkan faktor musiman di akhir tahun menambah loyo rupiah. Hal ini terjadi karena biasanya permintaan dolar AS korporasi meningkat untuk membayar utang dan membagikan deviden.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan keadaan ini di luar kendali pemerintah sehingga tidak banyak yang bisa dilakukan oleh otoritas fiskal. "Ini di luar kontrol, akibat ekspektasi yang terjadi di Amerika Serikat. Tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah," kata Sofyan.
Berbagai upaya ekstrim diambil otoritas moneter untuk meredam pelarian modal (
capital outflow). Bank Sentral Rusia, misalnya, dipaksa harus mengeluarkan kebijakan kontroversi dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 650 basis poin menjadi 17 persen. Meskipun berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi negara berkembang,langkah berani Negeri Beruang Merah dinilai wajar oleh Pemerintah Indonesia. Bank Indonesia sendiri sejauh ini belum menunjukan gelagat akan meniru aksi bank sentral Rusia.
Namun, melalui hasil rapat koordinasi antara pemerintah dengan otoritas moneter kemarin, dijelaskan Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) akan tetap berupaya menstabilkan kembali rupiah melalui beberapa instrumen. Antara lain menggelontorkan dana untuk pembelian kembali (
buy back) obligasi negara guna mengucurkan likuiditas valuta asing di pasar uang.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan dalam langkah intervensinya, BI telah mengeluarkan Rp 1,5 triliun untuk membeli obligasi demi menggelontorkan valuta asing ke pasar. "BI melihat pelemahan dalam beberapa hari terakhir ini terlalu berlebihan. Makanya kita akan intervensi lebih banyak,” ujar Perry.
Robert Pakpahan, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, menilai intervensi BI cukup efektif mengeluarkan rupiah dari zona "waspada". Dia berterima kasih kepada BI yang dinilainya berhasil menstabilkan rupiah. "Karena BI beli (intervensi), jadi stabil," katanya.
Untuk itu, Robert menilai pemerintah belum perlu melakukan
buy back obligasi meskipun dananya telah disiapkan dalam kerangka
Bond Stabilization Framework (BSF). "Kita monitor dulu pasar SBN, kita belum perlu melakukan
buy back. Sekarang sudah stabil," imbuhnya.
Analis Valuta Asing PT Bank Mandiri Reny Eka Putri menilai BI telah berhasil meredam gejolak rupiah. Terlihat dari stabilnya nilai tukar rupiah pada perdagangan sore hari kemarin.
"Saya lihat BI sudah melakukan intervensi, pada sore ini (kemarin) kita lihat rupiah sudah membaik sekitar Rp 12.700-an dibandingkan sebelumnya Rp 12.900," kata Reny Eka Putri ketika dihubungi.
"Jika menggunakan cadangan devisa, akan terlihat posisi cadangan devisa Desember, turun atau tidak. Kalau turun, berarti intervensi BI menggunakan cadangan devisa," tuturnya.
Reny menjelaskan, anjloknya rupiah saat ini disebabkan oleh perbaikan data ekonomi AS dan kabar akan dinaikannya suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed). Menurutnya, faktor tersebut otomatis membuat investor cenderung memegang dolar sebagai safe haven dan membuatnya menguat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk diketahui, posisi cadangan devisa Indonesia hingga akhir November 2014 tercatat mencapai US$ 111,1 miliar, lebih rendah dibandingkan posisi akhir Oktober 2014 sebesar US$ 112,0 miliar.