Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi VII DPR mengkritik peran PT Freeport Indonesia terhadap rendahnya kontribusi perseroan terhadap pembangunan masyarakat Papua dan ekonomi nasional. Antara lain yang disoroti adalah porsi bagi hasil ke pemerintah yang hanya 40 persen.
"Saya keberatan dengan pernyataan pak Maroef (Sjamsoeddin, Direktur Utama Freeport) yang mengatakan berkat Freeport daerah Tembagapura dan bandaranya bisa seperti sekarang. Asal tahu, Indonesia itu tidak butuh Freeport, melainkan Freeport yang butuh Indonesia. Mereka itu perlu Papua untuk bisa beroperasi," ujar anggota komisi VII DPR Bowo Sidik Pangseso dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama PT Freeport Indonesia, Selasa (27/1).
Anggota Komisi VII DPR lain, Kurtubi, juga menyoroti minimnya bagi hasil keuntungan perseroan dari kegiatan operasinya di Papua. Selain itu, Freeport juga diketahui tak menyetorkan deviden atas keuntungan produksi dalam tiga tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini yang juga jadi pertanyaan. Meski pemerintah hanya memperoleh 9,36 persen saham Freeport, tapi seyogyanya mereka bisa jelaskan alasan mengapa tak memberi deviden dalam tiga tahun terakhir," ujar Kurtubi.
Berdasarkan catatan, dalam delapan tahun terakhir porsi bagi hasil untuk pemerintah Indonesia hanya berkisar 40 persen yang berasal dari setoran pajak, royalti dan beberapa pungutan lain. Adapun sekitar 60 persen dikuasai perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut.
Sebelumnya, Direktur Utama Freeport Maroef Sjamsoeddin mengklaim selama periode 1992 hingga 2013 pemerintah memperoleh bagi hasil hingga 59 persen, sedangkan perseroan sekitar 41 persen. Dengan pembagian tersebut, pemerintah dinilai mengantongi keuntungan sebesar US$ 41,1 miliar, yang terdiri dari keuntungan langsung (US$ 15,2 miliar) dan keuntungan tak langsung (US$ 26,1 miliar).
"Kami juga sudah membangun bandara khusus sejak 1973 yang saat ini digunakan untuk (mendorong) perekonomian masyarakat setempat. Bisa dibayangkan pada tahun itu belum bisa digunakan untuk airline hanya airfast, tapi sekarang sudah digunakan untuk Garuda, Sriwijaya Air dan kepentingan TNI," ujar Maroef.
(ags/ags)