Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus mempertanyakan dasar perhitungan yang dilakukan pemerintah sehingga bisa menetapkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium Rp 6.600 per liter dan solar Rp 6.400 per liter untuk periode penjualan Februari 2015.
Pertanyaan tersebut terungkap dalam rapat kerja dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta direksi PT Pertamina (Persero) yang berlangsung hingga petang kemarin, Selasa (3/2). Selain harga, anggota dewan juga mempertanyakan alasan penetapan subsidi tetap untuk solar Rp 1.000 per liter.
Menteri ESDM Sudirman Said yang turut hadir dalam rapat tersebut kemudian meminta Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto untuk menjelaskan pembentukan harga bensin tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Dwi, untuk harga premium perhitungannya dilakukan berdasarkan pantauan harga minyak dunia mulai 25 Desember 2014 hingga 24 Januari 2015, dengan Mean of Platts Singapore (MOPS) US$ 56,11 per barel dan kurs Rp 12.517 per dolar Amerika Serikat (AS). Dari perhitungan, diperoleh rata-rata MOPS sebesar Rp 4.417 per liter.
Dia melanjutkan, mengingat Pertamina memiliki stok BBM yang dibeli untuk kebutuhan selama satu bulan maka terdapat pengenaan biaya Rp 350 per liter. Kemudian ditambah biaya distribusi, penyimpanan dan mobil tangki dengan tambahan biaya Rp 245,62 per liter, diperoleh total harga produksi Rp 5.287,95 per liter.
“Angka tersebut kemudian ditambah margin Pertamina sebesar Rp 54 dan margin stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) sebesar Rp 270 per liter,” ujar Dwi dikutip dari situs resmi Kementerian ESDM, Rabu (4/2).
Setelah menambahkan keuntungan bagi Pertamina dan pengusaha SPBU, angka tersebut kemudian ditambah dengan kompensasi biaya distribusi BBM yang harus ditanggung Pertamina ke luar Jawa dan Bali.
“Biaya distribusi ke semua provinsi di pukul sama yaitu sebesar Rp 114,79 per liter. Sehingga total harga Rp 5.726,73 sebelum pajak,” jelasnya.
Belum selesai sampai disitu, harga premium tersebut kemudian ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atau Rp 572 per liter dan pajak bahan kendaraan bermotor (PBBKB) sebesar Rp 283 per liter.
“Sehingga jika dihitung keseluruhan, didapat harga Rp 6.585,74 per liter, yang kemudian dibulatkan menjadi Rp 6.600 per liter untuk premium,” kata mantan bos PT Semen Indonesia Tbk tersebut.
Sementara itu Menteri ESDM Sudirman Said menilai meskipun saat ini bensin jenis premium tidak lagi disubsidi karena penurunan harga minyak, dia mengatakan untuk ke depan perlu dipikirkan bersama jika harga minyak terus naik.
“Misalnya harga minyak dunia mencapai US$ 80 atau 100 per barel. Pernah ada skenario, di atas harga tertentu, harus diberikan subsidi. Sementara di bawah harga tertentu, tidak boleh langsung diturunkan, melainkan ditabung untuk membangun kemandirian energi, seperti membangun infrastruktur migas,” kata Sudirman.
(gen)