Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dilempar Kementerian Agraria dan Tata Ruang dianggap sulit direalisasikan di daerah. Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek menilai banyak halangan untuk pelaksanaan kebijakan itu.
Redonnyzar mengatakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, PBB adalah pajak yang semula kepunyaan pusat yang kemudian diserahkan jadi pajak daerah dan dengan demikian menjadi sumber pendapatan daerah.
“Itu kontributor (pendapatan) kedua untuk daerah,” tutur Redonnyzar di Istana Wapres, Kamis (5/2) malam kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika penghapusan itu terjadi, daerah yang sangat menggantungkan sumber penerimaan daerah melalui PBB akan berkeberatan.
Namun di sisi lain, karena itu jadi kewenangan daerah, ada kecenderungan untuk menaikkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang kemudian berimplikasi pada daya pikul masyarakat.
Reydonnyzar mengatakan Kementerian Dalam Negeri tertarik untuk menimbang-nimbang dan mengkaji kembali kebijakan itu, didukung oleh alasan dari Kementrian Agraria dan Tata Ruang.
Wacana itu dilempar oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Ferry Mursyidan Baldan untuk menghapus Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Ferry menjanjikan akan mereformulasi ulang PBB. Dia mengusulkan pajak bumi hanya dikenakan sekali saja, saat warga membeli tanah untuk keperluan rumah tinggal. Sedangkan pajak bangunan direncanakan pemberlakuannya untuk warga negara yang menghuni rumahnya sendiri yang tidak masuk kategori rumah mewah.
"Pajak Bangunan tetap diberlakukan terhadap properti komersil seperti rumah kontrakan, restoran, pertokoan, perkantoran, hotel, dan lain-lain," kata Ferry.
Ferry menambahkan rumah tempat tinggal yang tidak dikenakan Pajak Bangunan adalah rumah tinggal yang wajar, bukan rumah mewah. Kriteria ini akan diatur dalam Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri.
Adapun formulasi ulang NJOP akan dilakukan dengan tujuan mengurangi potensi spekulasi terhadap harga tanah dan memmperjelas pengendalian negara terhadap harga tanah.
Kebijakan ini diberlakukan sebagai pencegahan atas tidak ada transaksi atau jual beli tanah di atas harga yang ditetapkan pemerintah.