Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintah menyediakan 1 juta unit rumah murah per tahun dengan beragam kemudahannya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) diperkirakan tidak akan dilirik oleh warga Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Akan sulit bagi masyarakat berpenghasilan maksimal Rp 4 juta per bulan untuk dapat mencicil rumah tapak murah tersebut, mengingat tingginya biaya hidup sehari-hari yang harus dibelanjakan dengan penghasilan terbatas.
Aidil Akbar Madjid, Perencana Keuangan dari AAM and Associates menjelaskan dirinya masih menggunakan rumus klasik di mana untuk menjaga kesehatan keuangan rumah tangga, maka dana maksimal yang bisa dibayarkan sebuah keluarga untuk membayar cicilan utang adalah 30 persen dari total pemasukan bulanan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika pemerintah mensyaratkan yang diperbolehkan membeli rumah tapak murah adalah masyarakat dengan penghasilan Rp 4 juta per bulan, maka jumlah angsuran yang masih bisa ditolerir adalah Rp 1,2 juta per bulan. Tetapi itu dengan catatan, keluarga tersebut tidak memiliki utang atau tagihan lain yang harus dibayar.
“Sementara perhitungan saya untuk dapat hidup di Jakarta yang biayanya tinggi seperti kota besar lain di dunia, satu keluarga itu minimum butuh Rp 4,5 juta sampai Rp 5,5 juta per bulan. Kalau dia belum berkeluarga mungkin bisa, tapi untuk yang sudah berkeluarga dengan anak satu, tidak cukup,” ujar Aidil kepada CNN Indonesia, Senin (9/3).
Ketua Asosiasi International Association of Registered Financial Consultants (IARFC) Indonesia tersebut menambahkan dengan membangun rumah murah di daerah-daerah penyangga, juga tidak menjadi solusi yang tepat bagi masyarakat.
Dia mencontohkan jika pemerintah membangun rumah murah di Tangerang, maka warga Jakarta yang sehari-hari bekerja di ibukota tentu akan berpikir sekian kali untuk mau membeli rumah tersebut.
Sementara penghasilan MBR Tangerang yang daerahnya menjadi lokasi pembangunan rumah murah, tentu tidak setinggi warga Jakarta karena perbedaan upah minimum regional (UMR) yang berlaku.
“Kalau bangun di Tangerang, tentu masyarakat yang bekerja di Jakarta harus mengeluarkan uang lagi untuk transportasi dan itu tidak murah,” kata Aidil.
Cocok untuk BujanganKalaupun ada suatu keluarga yang memaksakan diri untuk tetap membeli rumah murah tersebut, Aidil menyebut satu-satunya cara adalah dengan melakukan penghematan besar-besaran yang menurutnya mustahil dilakukan. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) 2013, Aidil mengatakan belanja makan per orang di rumah tangga Jakarta rata-rata sekitar Rp 690 ribu.
“Jika dengan inflasi naik jadi Rp 800 ribuan, maka untuk pasangan suami istri dengan anak satu harus menyediakan Rp 2,4 juta per bulan hanya untuk belanja makan saja. Kalau sudah pas-pasan seperti itu, apalagi yang bisa dihemat?” tegasnya.
Oleh karena itu, Aidil menilai program rumah murah hanya cocok untuk bujangan yang belum memiliki tanggungan istri dan anak. “Atau bisa diupayakan oleh keluarga yang memiliki pendapatan dari suami dan istri. Dengan dual income memungkinkan, satu pendapatan untuk membayar cicilan, satu lagi untuk sehari-hari. Kalau single income akan berat,” jelasnya.
Sebelumnya Corporate Secretary Bank BTN Eko Waluyo memperkirakan dengan gaji Rp 4 juta maka rumah yang bisa dibeli masyarakat adalah yang harganya antara Rp 113 juta sampai Rp 185 juta dengan tipe rata-rata 36.
Sementara untuk apartemen atau rumah susun bersubsidi yang diperuntukkan bagi masyarakat dengan penghasilan maksimal Rp 7 juta, harganya berkisar antara Rp 280 juta sampai Rp 560 juta per unit.
“Cicilan paling lama 20 tahun. Paling cepat sih rata-rata yang diambil 10 tahun. Sebenarnya bisa saja lebih cepat, tapi jarang sekali ada yang mengambil,” kata Eko.
Bank BTN menyatakan siap untuk membantu pemerintah terhadap program rumah murah dengan uang muka 1 persen. Di sisi lain, Bank BTN masih menunggu finalisasi suku bunga program tersebut yang rencananya diturunkan menjadi 5 persen.
“Saat ini kami masih finalisasi kebijakan suku bunga FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) yang rencananya turun menjadi 5 persen, dari 7,25 persen,” kata Eko.
Lebih lanjut, terkait program terbaru pemerintah yang berencana memberi keringanan uang muka 1 persen dan uang tunai Rp 4 juta, Eko mengaku belum mendapat arahan lebih lanjut. Namun, pihaknya memang sudah menurunkan uang muka menjadi 1 persen sejak 1 Maret 2015.
(gen)